A Working Man (AWM) yang dimaksud adalah film dengan genre action thriller berdurasi 116 menit yang diadaptasi dari novel berjudul Levon's Trade (2014). Film ini sudah tayang di bioskop tanah air sejak 26 Maret 2025.
Naskah ceritanya dikerjakan oleh tiga orang, yaitu Charles Dixon (si pengarang novelnya), Sylvester Stallone (si Rambo selamanya) serta David Ayer--nama terakhir ini berperan sebagai sutradara. Ceritanya dibintangi Jason Statham, Michael Pena, Arianna Rivas, David Harbour, Jasong Fleyming dan Noemi Gonzales, dll.
Penilaian kita terhadap film ini pada akhirnya tidak lebih dari pada pertunjukan berulang pukul-pukulan brutal yang menjadi trademark Jason Statham, akan saya jelaskan dalam beberapa alasan.
Mari mulai dengan mengenali premis yang usang, sudah terlalu sering dipakai. AWM berkisah seorang mantan anggota satuan elite militer, yang sedang memilih jalan hidup sebagai pekerja konstruksi di perusahaan milik keluarga yang berlatar imigran, keluarga Joe Garcia namanya. Lantas, pada suatu ketika, anak perempuan sang bos diculik oleh jaringan prostitusi yang (lagi-lagi) terhubung dengan persaudaraan mafia Rusia, Bratva.
Levon Cade, si mantan anggota satuan elite militer ini, cuma butuh dukungan seorang temannya. Sama-sama pensiunan di satuan elite yang sama, Gunny Lefferty. Gunny yang buta tinggal di sebuah pondok sederhana, dengan seorang istri tanpa anak. Gunny membantu Levon dengan koleksi senjata yang disimpannya.
Terus bisa ditebak ujungnya. Levon Cade melakukan perburuan, menciptakan chaos, membunuh orang-orang Rusia, dan membawa pulang anak perempuan Garcia seorang diri saja. Tak butuh banyak ketegangan untuk menegaskan betapa si pensiunan satuan elite militer selalu sakti mandraguna.
Masalahnya bukan di premis yang simplistis itu. Toh, premis yang sederhana ini masih memiliki pasar penontonnya.
Tapi, alasan utamanya bukan market-oriented. Jika kita mengacu ke sukses Equalizer dengan narasi yang sama, sang tokoh Robert McCall berhasil ditampilkan sebagai pensiunan yang sepi. Ia dikesankan selalu tampil rapi dan presisi, beserta kemalangan yang setia mengikuti langkah kakinya serupa bayangan.
McCall yang saban sore pergi ke sebuah kafe, membawa teh dan buku, lalu hanya memesan air panas, dikonstruksi sebagai seseorang dengan gerak-gerik yang tertata. Ia juga tak benar-benar terisolasi, tetap terhubung dengan inti elite di satuan intelijen adidaya. Dalam masa pensiunannya, ia tetap seseorang yang berbahaya.
Maka bukan masalah jika antitesis bersosok mafia Rusia itu tidak lebih dari sekumpulan orang-orang tolol, bertato, dengan senjata di tangannya--potret yang sama-sama sama ada di Equalizer dan A Working Man.
Masalahnya adalah tipe kepribadian Levon Cade jauh dari konstruksi yang dibutuhkan. Ia tidak cukup diperlihatkan sebagai kepribadian yang bermasalah dengan trauma paskaperang atau istri yang bunuh diri karena depresi.
Satu-satunya alasan mengapa hidupnya bermakna karena ia memiliki anak perempuan. Dengan kata lain, krisis yang menjadi latar kemunculannya tak terlihat relevansinya.
Padahal, ini akan menjadi penjelasan variabel berikutnya, krisis yang dimaksud itu semestinya disadari oleh David Ayer, sang sutradara. Mengapa begitu?
Sutradara yang sezodiak dengan Auguste Comte ini adalah pikiran di balik film Fury (2014) yang dibintangi oleh Brad Pitt, Michael Pena, Shia LaBeouf dan Jonathan Bernthal. Fury memang film berlatar Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Jerman terlibat perang dengan armada tank.
Namun, melalui tank yang diberi nama "Fury", dikomandani Don "Wardaddy" Collier dan skuadnya, David Ayer berhasil membawa kita pada serangkaian krisis yang mencekam khas perang. Suasana ini diselingi oleh kisah penyelamatan, pengorbanan diri patriotik dan humor yang serius. Susana krisis yang tak sebatas tampak di arena pertempuran, krisis itu membawa kita kedalam tank yang sempit.
Pada AWM, krisis tak terlihat sama sekali. Padahal, ketika Levon Cade mulai teridentifikasi oleh jejaring mafia Rusia, seharusnya ada alur yang memberi kesempatan jaringan ini untuk menculik anak Levon sebagai penyeimbang posisi tawar.
Atau, andai anak perempuan Levon yang dititipkan di rumah Gunny dibunuh dengan cara yang sadis, direkam lantas videonya disebar, maka posisi Levon Cade seketika berada di titik nadir. Dari sinilah, perang brutal melawan mafia Rusia itu menemukan momentumnya.
Psikologi di titik nadir yang (selalu) butuhkan untuk menjadi bagian yang mendukung, bukan cuma membenarkan, aksi pembalasan seorang bapak yang kehilangan anaknya adalah bagian penting yang tidak disadari para penulis cerita ini.
Kita bahkan melihat Levon Cade terlalu menyerupai Rambo (jangan lupa ada Stallone yang ikut menyusun cerita!), yang dingin dan bengis, tak tersentuh, sekalipun sudah di usia tua bangka.
Terakhir, yang juga terasa mengganggu, mengapa jaringan persaudaraan mafia Rusia bernama Bratva itu terlalu disederhanakan kuasanya?
Kita bahkan tak melihat kompleksitas dan kengerian bisnis perdagangan orang yang mereka kendalikan secara rahasia dengan pengalaman berlapis tingkat tinggi. Di ujung kisah, ketika Levon Cade berhasil membawa pulang korban sesudah menghancurkan rumah yang menjadi lokasi perjudian, para inti elite di Bratva itu memilih menyerah begitu saja.
Mereka lebih terlihat seperti sekumpulan bapak-bapak usia senja yang berkumpul di pos ronda, membicarakan keamanan kompleks, tak punya cukup uang termasuk sudah tak ada daya melalukan ronda malam.
Semestinya, untuk kasus yang satu ini, para penyusun cerita bisa mengacu ke narasi tiga babak John Wick.
Kita tahu, walaupun akan selalu menang di akhir pertarungan, John Wick tidak menghadapi mobilisasi kekerasan khas mafia yang biasa-biasa saja. Arena pertarungannya juga mengambil ruang yang tak lazim: di tengah jalanan Paris yang hiruk pikuk atau di dalam ruangan pesta yang ramai. John Wick bahkan terluka, melarikan diri dan bersembunyi sebelum kembali untuk menang.
Pendek cerita, A Working Man menghidupan Levon Cade yang menghadapi terlalu banyak hal remeh dalam narasi penyelamatannya. Glorifikasi terhadap anggota satuan elite militer jadinya juga terlalu dipaksakan, kalau bukan omong kosong belaka.
Dan, wahai Jason Statham, bisakah Anda berhenti terlibat dalam proyek yang narasinya pensiunan pasukan elite militer kembali dari pengasingan untuk menegakkan keadilan? Barang sebentar saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI