Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Komedi dan Kebudayaan Demokrasi

27 Februari 2024   09:44 Diperbarui: 29 Februari 2024   20:43 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan salah satu ruas jalan Kota Bandung di musim kampanye Pemilu | Dok: S Aji

"Nothing is permanent in this wicked world, not even our troubles."
Charlie Chaplin (1889-1977)

Di artikel pendek berjudul Komeng adalah Siapa? (baca di sini), saya melukiskan kalau fenomena suara Komeng yang melaju kencang di pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sejenis serangan terhadap kejumudan proseduralisme politik. 

Yaitu prosedur dalam penyelenggaraan demokrasi, khususnya pemilu, yang mengawetkan formalisme palsu dari keterwakilan politik. Dan yang paling radikal dari serangan tersebut adalah kritiknya terhadap para penyembah dalil pemilih rasional adalah syarat mutlak dari keterwakilan yang substansial. 

Dalil pemilih rasional adalah koentji demokrasi berangkat dari asumsi yang sombong. 

Seolah saja rasionalisme di balik keputusan memilih berbanding lurus dengan figur politik yang berkualitas dan mengabdi pada kepentingan konstituten. 

Asumsi ini selalu gagal menjelaskan mengapa orang-orang yang (disangka) cerdas-idealis berkualitas itu bisa berubah pragmatis, konformistik dan bahkan korup. Atau, dari arah sebaliknya, mengapa orang-orang yang diketahui mantan narapidana korupsi masih bisa terdaftar di kertas suara pemilu.

Sehingga pertanyaannya adalah mengapa figur yang memiliki biografi  pemimpin politik garda gerakan mahasiswa 98, tumbuh dari garis perlawanan rakyat-buruh, mempromosikan gagasan politik canggih, bisa berubah opsi secara radikal? 

Semisal menjadi juru bela intelektual dari kepemimpinan nasional yang problematik secara historis-konstitusional, bahkan moral? Kepemimpinan yang dalam garis ideologi politiknya adalah sebaik-baiknya musuh? 

Rasionalisme macam apa yang menjelaskan mengapa para pemilih tetap mendengarkan sang juru bela itu? Tidakkah yang semacam ini menunjukan "paradoks pilihan rasional (bagi) masyarakat demokratik". 

Dari paradoks di atas, kita tidak boleh mengabaikan fakta adanya rasionalisme yang instrumental. Yaitu jenis rasio yang mengakar dalam demokrasi prosedural atau kebudayaan kapitalisme mutakhir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun