Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Story Collector

Mō zhe shítou guò hé - Deng Xiaoping | Ordinary Stories, Structural Echoes

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Warisan Cahaya Seorang Ignas Kleden

22 Januari 2024   17:10 Diperbarui: 28 Januari 2024   16:03 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Ignas Kleden, MA (kanan) di sebuah forum Rapat yang diselenggarakan Kanwil Kementerian Agama NTT tahun 2018 | Pos Kupang,com

Di bulan Februari, 2016, saya mengalami stagnasi seperti ini. Lantas, kembali memeriksa arsip lama dan menemukan tulisan Ignas Kleden yang membahas puisi-puisi Joko Pinurbo. Tulisan yang berjudul Puisi: Membaca Kiasan Badan ini tidak pernah dibaca dengan seksama. 

Sesudah membacanya, saya menulis artikel berjudul Menikmati Puisi Jokpin, Catatan yang Terlambat. Di sana, salah satu paragraf reflektif yang dirumuskan Ignas Kleden (dan membuat saya terperangah) adalah:

Pada Joko Pinurbo badan mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik sebagai tanda (signifier) maupun sebagai apa yang hendak ditandai (the signified). Yang mencolok adalah kenyataan bahwa observasi yang teliti dan mendetail tentang badan dan bahagian-bahagian tubuh manusia, tidak membawa penyairnya kepada suatu detotalitasi badan yang dapat berefek pornografis. Seandainya pun dia harus berbicara tentang suatu bahagian tubuh tertentu secara rinci, hal ini dilakukan dengan tetap mempertahankan suasana metaforis yang kuat, yang tidak membelenggu perhatian pembaca pada badan sebagai badan, tetapi pada badan sebagai pesan.

Bagaimanakah caranya badan yang direnungkan secara intens? Puisi yang tidak mendetotalisasi badan, terjatuh pada efek pornografis? Menjaga suasana metaforis yang kuat dimana badan hadir sebagai pesan? 

Sejak membaca naskah ini, sudah semestinya menjadi lebih berhati-hati dengan segala yang disebut puisi. Di satu yang lain, saya mendadak termotivasi berkali-kali mengulang gayanya Joko Pinurbo, selain caranya Aan Mansyur hingga hari ini. 

Di samping terhadap Jokpin, ada satu lagi cara baca Ignas Kleden yang mengembangkan sikap berhati-hati terhadap Cerita Pendek atau Novel. 

Yaitu pemeriksaan yang dikerjakan terhadap gaya Putu Wijaya dimana beliau mengungkapkan jenis bahasa yang khas. Yakni yang mengajak pembaca memeriksa orang nilai-nilai, pemikiran, atau tabu sosial dalam karya sastra; "gaya bahasa instruksional". 

Dalam hemat saya, ini adalah jenis bahasa yang digunakan penulis untuk memaksa pembacanya berjibaku dengan pemikirannya sendiri. Dengan kapasitas seperti ini, kita bisa mengerti mengapa karya sastra selalu terbuka memfasilitasi suara kritis terhadap kehidupan sosial dan politik.

Di masa yang lain, saya pernah coba-coba menggunakan cara baca Ignas Kleden. Ini sebatas untuk menghormati karya dua fiksianer yang sempat produktif di zamannya (2013-2017), yakni Sarwo Prasojo dan DesoL. Artikel yang lengkap berjudul Melihat Bahasa Appeal dalam Fiksi DesoL).

Sampai di titik ini, Ignas Kleden bagi saya adalah:

Cahaya intelektual kritis yang terampil merawat kejelasan dan menuntun pembacanya melihat ide yang bekerja di balik sebuah teks, baik puisi, cerpen, novel atau bahasa ilmiah ilmu sosial. Termasuk kebijakan negara atau wacana dominan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun