Jadi, sebagai mahasiswa jurusan ilmu sosial rasanya kurang lengkap kalau tak pernah bersentuhan dengan cendekiawan yang satu ini.
Di tahun-tahun awal perkuliahan, saya termasuk yang cukup terbantukan--tapi tidak lantas memahami dengan benar--dengan tulisan-tulisan Ignas Kleden yang terbit tahun 1987. Kumpulan tulisan beliau diberi judul Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, yang diterbitkan oleh LP3ES.
Salah satu tulisan beliau yang masih terbayang adalah yang membahas isu pelik dalam perkembangan ilmu sosial.
Judulnya Indigenisasi Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia. Isu ini melibatkan perdebatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang menjadi fondasi dari pembentukan ilmu pengetahuan yang benar.
Kemudian salah satu tulisannya yang juga masih cukup membekas adalah yang membahas kaitan antara ilmu pengetahuan dan kepentingan. Makalah ini mengemukakan kritik filsuf dari Jurgen Habermas terhadap klaim bebas-kepentingan yang dibela oleh kelompok positivisme.
Sedikit tambahan, Romo Magnis Suzeno menyebut jika Jurgen Habermas adalah pemikir terakhir yang berhasil menyelamatkkan warisan Frankfurt School dari kebuntuan "dialektika pencerahan"; isu yang gagal diatasi Horkheimer, dkk.
Ignas Kleden membantu saya (dan banyak mahasiswa) berkenalan dengan gagasan kritis tersebut.
Di artikel sederhana ini, saya sebatas ingin membagi ulang dampak kritik sastra sosiolog yang sangat membantu dalam memahami dan menulis puisi atau cerita pendek di Kompasiana.
Sedikit Kritik Sastra Ignas Kleden dan Gairah Menulis Fiksi.
"Di bawah alismu hujan berteduh.
Di merah matamu senja berlabuh."
-Joko Pinurbo, Kepada Cium
Ada satu masa dimana kelesuan imajinatif melanda para pegiat fiksi (puisi, cerpen, roman, dkk) di mana saja, tak terkecuali Kompasiana.