Bagaimana itu bisa terjadi?
Saya tidak punya jawaban yang utuh selain bahwa tarik menarik kesedihan manusia, musik dangdut koplo dan kekuasaan adalah "arena politis" yang tidak cukup dimengerti dengan meratapi kondisi bahwa anak-anak kita tak memiliki musiknya sendiri.Â
Bahwa anak-anak kita tak memiliki musiknya sendiri dikarenakan suara-suara merdu sebelum puber itu dicecoki lagu-lagu cinta manusia dewasa yang tidak mereka mengerti. Mereka dipaksa menghayati jenis musik yang belum waktunya.Â
Kita barangkali bukan lagi di situasi mengalami pemiskinan pencipta musik bagi anak-anak. Kita mungkin tengah sampai di titik apakah yang dimaknai sebagai musik (bagi) anak-anak itu di tengah dunia model begini?
Dunia digital yang nyaris total, tidakkah segala jenis musik hari ini menjumpai para bocil lewat potongan video di Youtube atau Tiktok yang berhamburan dari gawai pintar?
Anak saya yang baru 5 tahun, misalnya. Pada suatu pagi menuju perjumpaan pertama dengan sekolah, memaksa saya memutar lagu kesukaannya. Sebuah lagu yang menandai perpisahannya dengan "Baby Shark".Â
Saya adalah pihak yang yang mengenalkan, walau mula-mula, hanya familiar dengan nadanya. Sesudah itu tak pernah memiliki keinginan memahaminya dengan lebih persis: siapa penyanyinya, seperti apa lirik dan maknanya.Â
Saya hanya mengucap liriknya dengan kalimat "Wani waskepoi", yang memang tak ada artinya itu. Wani waskepoi, wani wani waskepoi. Wani waskepoi, wani wani waskepoi.Â
Aksi yang saya lakukan ini lebih mirip dengan video milik pemuda yang belum lama ini viral. Dia mengucap kata dil dang, dil dang berulang pada musik dangdut yang tidak untuk dimengerti, hanya sebatas keanehan saja.Â
Belakangan saya baru tahu jika  lagu tersebut berjudul Im Unstoppable yang dinyanyikan Sia. Anda bisa mencoba kreatifitas linguistik saya dengan mengganti semua liriknya dengan "Wani Waskepoi":Â
I'm a Porsche with no brakes. I'm invincible. Yeah, I win every single game. I'm so powerful. I don't need batteries to play. I'm so confident. Yeah, I'm unstoppable today.