Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

#KabarBencanaJayapura: Mengenang Hidup di Perumnas IV

8 Januari 2022   12:14 Diperbarui: 10 Januari 2022   07:29 1563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Pasar Youtefa Abepura, Jayapura, Papua, Jumat, 7 Januari 2022. (Foto: Beritasatu.com)

Saya membaca berita bencana sejak kemarin. Dan bersedih. Kabar duka dari Jayapura.

Pada Kamis, 6 Januari malam, banjir dan longsor dikabarkan melanda sejumlah titik di Jayapura. Dari laporan Kompas, wilayah yang terdampak banjir di antaranya Kecamatan Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram, dan Muara Tami. 

Selain itu, "Pantauan di lapangan, tinggi muka air saat banjir berlangsung sekitar 150-200 cm, bahkan petugas BPBD setempat melaporkan genangan di wilayah Pasar Yotefa Abepura mencapai 300 cm," ujar Abdul Muhari, Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB.
 
Sedangkan dari Asumsi.co, dilaporkan jika bencana ini telah merenggut 7 korban jiwa dan sekurangnya 500 warga harus mengungsi. Setidaknya ada 7000 warga yang terdampak. Bencana banjir terparah terjadi di Pasar Youtefa, Perumahan Organda, SMA 4 Entrop, dan Perumnas IV. 

Tanah longsor terjadi di empat lokasi, yakni Nirwana, Bhayangkara, APO Bengkel, dan Klofkam menyebabkan tujuh orang meninggal serta enam orang luka-luka. 

Ini bukan kejadian pertama. Dalam ingatan akan tragedi terdekat, kita terkenang tahun 2019. Di bulan Februari, kota Sentani dan Jayapura dihajar banjir bandang yang mengerikan. 

Mongabay membuat laporan yang cukup menyeluruh terkait penyebab dari bencana yang menelan korban jiwa hingga 89 orang. Laporan itu berjudul Banjir Bandang Sentani 89 Tewas, Ribuan Mengungsi, Apa Penyebab Bencana?

Selalu ada kombinasi faktor iklim, kemerosotan daya dukung alam dan tekanan dari ulah manusia sendiri. Dalam situasi yang makin rentan, tidak ada jurus lain selain pemerintah wajib menguatkan kebijakan yang tegas, kukuh dan sinergis dalam mewujudkan pembangunan yang tanggap iklim dan bencana. 

Sebab, mengutip Kompas.com, jika tahun 1999 banjir hanya empat kejadian per tahun. Namun, sekarang di tahun 2017 saja kejadian tersebut meningkat menjadi 146 (kejadian) seperti dikatakan Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR Hari Suprayogi, apa lagi yang ditunda-tunda?

Mewakili (suara) jelata yang jauh dari tanah lahir, kabar duka ini memaksa saya membawa pulang ingatan pada jejak riwayat yang dibentuk dua tempat. Saya hanya ingin menceritakan salah satunya saja. 

Sebagai cara mengenangkan hidup yang singkat.

*** 


Sesudah kota Serui yang tenang, kecil dan indah, membicarakan Jayapura adalah mengawetkan cinta kedua saya. 

Jayapura adalah rumah dimana saya tumbuh, berkelompok, mengelola nakal, merenungkan patah hati dan bersiap-siap merantau untuk tahun-tahun yang panjang. 

Termasuk menjadi striker dari kelas yang jumlah siswinya lebih banyak (pantas saja!!) hingga terlempar ke jurusan IPS sebelum lulus UMPTN kemudian menyebrangi lautan. Dengan lagu yang sampai hari ini masih diputar di kafetaria kapal. 

Kapal bajalan ngana masih di dermaga. Lambaikan tangan kong baseka airmata.. 

Pergi ke kota pesisir yang kini juga tak pernah sepi dari rasa cemas di setiap akhir tahun. Kota yang juga rentan dihajar banjir tahunan: Manado.  

Saya memiliki nostalgia yang sepanjang hayat akan selalu hidup di dalam lubuk hati tentang Youtefa. 

Hidup di sekitar pasar Youtefa telah membentuk fleksibilitas saya akan kemajemukan, akan keragaman anak-anak suku di Nusantara. Menebalkan pengalaman yang sudah dibentuk oleh kota Serui. 

Saya bahkan telah menjadi seorang Batak dalam pergaulan masa remaja ini. Saudara saya bermarga Hujatulu ini belum lama menelpon dari Kulonprogo, Yogyakarta. Dia sedang mengunjungi ibu saya, ibunya juga.

Cerita indah tentang kampung kecil yang dibentuk kelas pedagang dan keragaman etnik itu sudah tayang di Serie A di Youtefa. 

Sedang terhadap Perumnas IV, tak banyak cerita yang tersimpan di arsip Kompasiana. Padahal bukan sedikit ingatan baik yang tumbuh dan mengabadi di sini.

Dimanakah Perumnas IV berada?

Perumnas IV dan Perumahan Organda yang bertetangga di Hedam | Sumber: Tangkaplayar Googlemaps.
Perumnas IV dan Perumahan Organda yang bertetangga di Hedam | Sumber: Tangkaplayar Googlemaps.

Kalau kamu hendak ke Sentani dari Abepura, kamu akan melewati daerah yang dikenal dengan Padang Bulan. Padang Bulan terletak sebelum bertemu Denzipur dan perumnas I. Ada perbukitan kecil yang memisahkannya dengan perumnas IV. 

Bentang alam perumnas IV dikondisikan oleh lereng perbukitan. Jadi seperti perkampungan di dalam wajan. Perumahan Organda, jika tak salah ingat, adalah tetangga perumnas IV yang letaknya lebih dekat ke jalan utama. Posisinya lebih mudah diakses dari Padang Bulan II. 

Kalau masih belum jelas lagi, silakan booking tiket dan ke Jayapura biar hidupmu sempurna.

Seperti apa profil-sosial ekonomi di perumnas IV saat itu?

Ketika pindah ke sini dari Youtefa di tahun 1996, kompleks perumahan ini tergolong baru. Saat itu masih dalam tahap penyelesaian dan baru dihuni beberapa Kepala Keluarga. Ayah saya termasuk keluarga pertama. 

Berdekatan dengan kami, tinggal keluarga dari Raja Ampat-Solo bermarga Mayalibit. Keluarga yang hingga kini telah menjadi bagian dari keluarga kami. 

Agak ke belakang, ada keluarga dari Maluku. Mereka bermarga Akerina dan Timisela. Lalu ada beberapa keluarga Jawa perantau seperti ayah saya. Ada juga beberapa keluarga dari Papua dan Batak.

Nama-nama yang disebut di atas memiliki anak-anak yang seumuran; kawan bermain. Orang tua mereka kebanyakan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) kasta menengah ke bawah. 

Ayah dan ibu saya guru, keluarga Mayalibit adalah gabungan dosen dan guru SMP, sedang yang dari Maluku adalah PNS bukan guru. Belakangan, ada banyak PNS yang datang dan tinggal di sini. Selain itu, juga pengusaha kecil seperti toko klontong dan pedagang sayuran. 

Sepanjang yang saya ingat, kompleks pemukiman yang terbentuk dalam klaster A-G hidup dalam suasana yang harmonis. Penuh persaudaraan dari mereka yang merantau pun penduduk pribumi. 

Di sini, saya dibentuk dari nostalgia keluarga Akerina dan Timisela akan kampung halamannya. 

Mereka mengajarkan saya berbicara dengan dialek Ambon. Itulah mengapa beta seng bisa lupa cerita-cerita orang kampung menunggu durian jatuh. Mereka berhasil menanamkan kerinduan akan musim durian itu di kepala saya yang tidak pernah keluar dari Tanah Papua.    

Suatu masa, kami memang pernah menyelenggarakan ronda malam yang cukup rutin namun jarang sekali terjadi pencurian dan sejenisnya. FYI, saya satu-satunya anak SMA yang bergabung dengan bapak-bapak kompleks ronda, hehehe. 

Termasuk juga keseharian beragama yang dibentuk oleh hubungan sosial yang hangat dari bermacam-macam suku dan agama. Jika Natal atau Lebaran tiba, kami saling mengunjungi. Oh ya, keluarga Akerina dan Timisela beragama Protestan yang taat.

Satu peristiwa lain yang masih selalu saya kenang adalah persahabatan dengan kaka Viktor Pulanda. Dari kaka yang satu ini, saya diajari teknik-teknik dasar bermain bola. 

Kaka Iki, begitu kami memanggilnya, adalah back kanan Tim PON Papua yang kemudian bermain untuk Persipura. Kaka Iki seangkatan Ortizan Salossa. Karirnya memang tak berumur panjang karena cedera parah. 

Singkat riwayat, perumnas IV adalah rumah yang hangat; rumah yang menjaga jiwa saya tumbuh kaya dengan pengalaman akan kemajemukan.  

Bagaimana perjumpaan mula-mula dengan banjir? Apakah banjir baru terjadi sesudah Padang Bulan berubah menjadi kampung dengan ruko dimana-mana?

Banjir di Perumnas IV bukan peristiwa pertama di tahun 2022. Sejauh yang bisa diingat, pada tahun 1999 menjelang pemilu pertama paskaorba. Kompleks perumahan ini sudah pernah dihajar banjir yang lumayan parah. 

Terutama di kawasan blok A yang menjadi halaman depan perumnas IV. Saat itu adalah malam pergantian tahun. Tinggi banjir hampir mencapai atap rumah.

Ketika ketinggian air mulai naik, saya harus menyelamatkan motor Suzuki A 100 milik bapak ke rumah keluarga Sitinjak. Tinggi muka air di rumah kami yang terletak di Blok D adalah sedada orang dewasa. 

Selain curah hujan yang tinggi dan lama, lereng perbukitan yang mengelilingi perumahan juga mulai terdegradasi. 

Mulai digaliratakan karena tekanan pemukiman manusia. Bahkan ada kelompok kecil warga yang menggali di beberapa titik di salah satu aliran sungai kecil sebelum bajir terjadi. Heboh saat itu karena rumor ada yang dapat emas. 

Cerita mistis yang berkembang sebagai asal-usul banjir saat itu adalah kemarahan penunggu di sekitar perbukitan. Kamarahan yang ditujukan bagi ulah manusia yang merusaknya alam sebagai ruang hidup yang sakral.   

Karena banjir ini jugalah, kompleks perumnas IV berubah landskap seperti wajan raksasa. Dengan rumah-rumah sebagai lauknya, sedang banjir adalah santannya. Yang paling parah, kompleks kami mendadak viral sebagai kawasan wisata banjir.

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja di perbukitan ada rombongan warga sekitar yang datang untuk menonton. Mencari tahu sebab serta mencari alasan supaya tercapai hasratmu seperti apa rasanya mengalami banjir. Untung saja saat itu Facebook atau Instagram masih dalam pencaharian dirinya.

Tapi sebenarnya riwayat keseharian di perumnas IV adalah hidup mewaspadai banjir. 

Setiap hujan yang berlangsung lebih dari 4 jam, akan selalu timbul danau dadakan. Kedalaman dan luasannya eringkali tak bisa dilewati kendaraan bermotor. Warga yang hendak keluar, entah karena harus sekolah atau bekerja, harus menggunakan jasa perahu.

Dan tahun 1999 itu adalah perjumpaan pertama saya dengan banjir yang besar. Termasuk merasakan bagaimana menjadi korban yang mengantri untuk mendapatkan sedikit beras, mi kemasan, kaleng kental manis dan merasakan seperti apa berdiam di dalam gelap, lumpur dan cemas. 

Ketika membaca kabar duka dari Jayapura, mengetahui perumnas IV disebut sebagai salah satu titik yang parah, saya terus bersedih. Tapi lebih dari itu, kita tterus ahu jika bertahun-tahun sejak banjir 22 tahun yang lalu, tidak ada yang sungguh diperbaiki dari tata ruang dan daya dukung ekologi. 

Saya berharap saudara-saudara di Jayapura selalu diberikan kekuatan dan kemudahan. Cepat pulih Jayapura!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun