Sepanjang yang saya ingat, kompleks pemukiman yang terbentuk dalam klaster A-G hidup dalam suasana yang harmonis. Penuh persaudaraan dari mereka yang merantau pun penduduk pribumi.Â
Di sini, saya dibentuk dari nostalgia keluarga Akerina dan Timisela akan kampung halamannya.Â
Mereka mengajarkan saya berbicara dengan dialek Ambon. Itulah mengapa beta seng bisa lupa cerita-cerita orang kampung menunggu durian jatuh. Mereka berhasil menanamkan kerinduan akan musim durian itu di kepala saya yang tidak pernah keluar dari Tanah Papua. Â Â
Suatu masa, kami memang pernah menyelenggarakan ronda malam yang cukup rutin namun jarang sekali terjadi pencurian dan sejenisnya. FYI, saya satu-satunya anak SMA yang bergabung dengan bapak-bapak kompleks ronda, hehehe.Â
Termasuk juga keseharian beragama yang dibentuk oleh hubungan sosial yang hangat dari bermacam-macam suku dan agama. Jika Natal atau Lebaran tiba, kami saling mengunjungi. Oh ya, keluarga Akerina dan Timisela beragama Protestan yang taat.
Satu peristiwa lain yang masih selalu saya kenang adalah persahabatan dengan kaka Viktor Pulanda. Dari kaka yang satu ini, saya diajari teknik-teknik dasar bermain bola.Â
Kaka Iki, begitu kami memanggilnya, adalah back kanan Tim PON Papua yang kemudian bermain untuk Persipura. Kaka Iki seangkatan Ortizan Salossa. Karirnya memang tak berumur panjang karena cedera parah.Â
Singkat riwayat, perumnas IV adalah rumah yang hangat; rumah yang menjaga jiwa saya tumbuh kaya dengan pengalaman akan kemajemukan. Â
Bagaimana perjumpaan mula-mula dengan banjir? Apakah banjir baru terjadi sesudah Padang Bulan berubah menjadi kampung dengan ruko dimana-mana?
Banjir di Perumnas IV bukan peristiwa pertama di tahun 2022. Sejauh yang bisa diingat, pada tahun 1999 menjelang pemilu pertama paskaorba. Kompleks perumahan ini sudah pernah dihajar banjir yang lumayan parah.Â
Terutama di kawasan blok A yang menjadi halaman depan perumnas IV. Saat itu adalah malam pergantian tahun. Tinggi banjir hampir mencapai atap rumah.