Apakah saya terlalu banyak makan? Ditambah kekurangan tidur, jadilah ini semua berkolaborasi: nafas tergesa-gesa, langkah terasa sedang menarik beban sejarah?Â
Walhasil, terbitlah suara-suara jahat dalam diri sendiri. "Wahai lelaki amatir, kamu tak bakal memenuhi janjimu sendiri. Hihihi."
Dan benar saja, di sebelah bawah rusuk kanan mulai terasa nyeri. Kalau kata kami di Papua, biji puru de naik. Saya tahu ini adalah isyarat. Bukan untuk berhenti. Ini isyarat jika saya baru saja mencapai 8 kilometer. Sudah dekat dari target walau realisasinya terasa jauh. Lanjut apa berhenti, loser?
Sesudah lampu merah yang berdekatan dengan rumah dinas bupati yang megah, putih dan sepi itu, saya memilih belok kanan. Lantas pelan-pelan mengurangi laju. Mulai jalan. Di depan sana, ada dua orang perempuan sedang menyapu sisa daun ketapang yang sepanjang hari menggugurkan daun. Juga seekor anjing. Deg!
Benar saja, anjing ini--kita panggil saja Brown--mulai cari-cari perkara. Dengan bersemangat, dia mendekati tubuh yang sedang terengah-engah. Tubuh yang belum sepenuhnya dalam kontrol pikiran. Ya iyalah, Mbang. Baru juga mo ngambil nafas. Brown makin mendekat saja. Bersemangat pula!
Refleks saya bekerja. Sebagai mantan korban dari serangan anjing di masa lalu, saya bergerak seolah sedang memungut batu, eh, ketemunya sebatang ranting lapuk. Brown hanya tersentak tapi tidak mundur. Duh. Apakah kau keturunan dari masa perang, kawaan?!
"Pak, pian jalan ja. Kada usah belari." Salah seorang perempuan berjilbab yang sedang merapikan daun ketapang itu ternyata menaruh kasihan. Dalam hatinya serasa sedang merapal lirik pada suatu pagi, seorang lelaki ketakutan dikerjai seekor anjing. Inilah puisi sebelum jadi.
Saya pernah ketemu anjing yang diam-diam menyakiti, bu. Jadi saya tidak langsung menuruti apa yang disarankan. Lagipula, antara si ibu dan Brown sepertinya sudah lama berteman. Anjing tidak menghajar temannya sendiri, bukan?
Tapi, masa saya mundur? Coba saja jalan pelan-pelan. Eh, si Brown malah makin bergairah mendekat. Asuu!Â
Nafas belum teguh, pikiran belum bersatu, sudah diganggu begini. Â "Gak jadi, Bu. Ulun memutar ja," ujar saya lebih kepada diri sendiri.Â
Saya menatap statistik di Strava, 8,2 kilometer. Pace: 9! Waduuh. Gangguan Brown bisa berakhir dengan malu. Akhirnya saya memutuskan lanjut berlari. Sekalipun lari saya tidak cepat, janganlah sampai tercatat di angka 9. Masih tersisa 2 kilometer untuk memperbaiki statistik.Â