Di rekaman statistik akun Strava, hari pertama dimana saya memaksa tubuh yang mulai bengkak bertahap kepada berlari adalah 31 Oktober. Atau 4 bulan sesudah deklarasi diri menghentikan rokok.Â
Saya memulainya dengan menggunakan sepatu BABEBO alias Barang Bekas Bos alias sepatu bekas bermerek yang diimpor:
...Mula-mula saya memakai Asics, Adidas dan Nike yang tapaknya sudah terkikis. Asics akhirnya berkarir sebagai sepatu yang menemani saya menembus beratnya rawa gambut. Adidas umurnya tak panjang, tapaknya patah dan pensiun lebih cepat. Sekarang hanya ada Nike.
Saya pun membeli beberapa celana pendek. Yang bermerek produk olahraga terkenal tapi dengan jenis KW yang tak bisa dihitung. Pokoknya nyaman dan tidak rewel dibawa berlari. Seterusnya, saya menyusun jadwal yang longgar di kepala. Kapan saya bisa berlari, saya akan jalani.
Maka sejak permulaan November, tubuh yang pelan-pelan bertambah lingkar pinggangnya ini kubawa berlari dengan capaian jarak-jarak yang pendek, diselingi berjalan kaki. Kemudian jarak ditambah dan berjalan kaki mulai dikurangi hingga ke titik nol.Â
Cerita lengkapnya bisa diperiksa pada Berlari, "Healthism" dan Cerita Seorang Amatir.
Singkat cerita, berlari menjadi energi kedua yang menciptakan atmosfir pelengkap dari usaha menghentikan ketergantungan itu.Â
Perlahan-lahan dan dengan disiplin mengekang tubuh dari ketidakkonsistenan, saya bersikukuh menjaga jarak berlari saya rata-rata 4 kilometer sampai saat tulisan ini dibuat. Dan saya sudah tidak bermukim di kota Sampit, Kalimantan Tengah.Â
Jadi, ini bukan lagi sambutan atas gaya hidup sehat. Ia telah melampaui euforia yang seketika lenyap dimakan rutinitas harian.Â
Saya, sedekat ini, merasa sedang berdiri di luar batas ringkih euforia itu.
Sedekat ini juga, saya merasa seolah sedang berada di puncak kendali. Namun saya tahu, godaan untuk kembali kepada jalan lama selalu menitip di setiap tikungan waktu dan kelengahan-kelengahan yang menguntit laksana bayangan sendiri.Â