Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wahai "Murid Zaman Old" dan "Murid Zaman Now", Bersatulah!

26 November 2017   10:15 Diperbarui: 27 November 2017   05:34 2999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa SMA tahun 90-an | Sumber: Selipan.com

Siswa dan siswi SMA dalam perayaan
Siswa dan siswi SMA dalam perayaan

Pada realita zaman Now, "guru kabel kopling" jangan coba-coba mengambil peran garis depan. Bukan saja akan diadukan, aksinya bakal viral dan menjadi perhatian banyak orang. Menjadi Terkutuk nasional! Ini era sudah terbuka, pendisiplinan keras gaya kabel kopling akan tampak seperti warisan barbar semata. 

Dalam batas tertentu, sinisme kultural antar generasi itu lantas bermunculan di sini. Baru keras sedikit saja sudah mengadu! Bersyukur kami lahir di zaman dulu! Bla...bla...bla...Panjang umur Masa Lalu! Akan tetapi kepala zaman Now jangan lekas-lekas menyimpulkan mereka menyetujui kekerasan sebagai cara membentuk karakter bangsa. Apa buktinya? Memangnya sudah ada generasi zaman Ipin-Upin yang telah mencapai posisi penting dalam pembuat kebijakan? Posisi kunci dalam aksi-aksi advokasi terhadap kasus-kasus kekerasan di ruang pendidikan?

So, persoalannya bukanlah Old or Now, take or leave it, Beibeh! Intinya, jelas kolaborasi.

Produk didikan guru era lampau kini dalam kewajiban-kewajiban transisi generasi. Dengan digitalisme yang pesat, sistem ekonomi-politik yang mewarisi ketimpangan penguasa zaman Old, radikalisme yang pasang serta jejaring koruptor yang tak mampus-mampus itu, sebuah bangsa jelas sedang dalam pertaruhan sejarah. 

Ini bukan saja berupa tantangan untuk menciptakan kondisi-kondisi dimana cita-cita kemerdekaan nasional tegas terwujud untuk seluruh warga bangsa saja. Namun juga, membuat generasi kekinian tetap memiliki proyeksi dalam kesadaran mereka yang telah muak dengan idealisme zaman di ujung rotan guru terdapat kemuliaan ilmu.

Jika generasi Now atau, sebutlah Gen Z akan menjadi pelaku-pelaku masa depan, maka kebahagiaan akan menjadi salah satu inti nilai mereka. Kebahagiaan yang tidak lagi bersibuktengkar dengan opsi-opsi ideologis. Tidak berkelahiwacana dengan narasi-narasi filosofis. Sebagaimana survey Cocacola yang pernah dibahas dalam tulisan berjudul "Jangan Lupa Bahagia", Gen Z dan Spekulasinya, sebagai satu permisalan kasus saja.

Gen Z memang masih merupakan generasi dengan karakterisitik masih dalam perdebatan. Sebagai pengisi populasi yang disebut-sebut 18% penduduk dunia saat ini, mereka terlahir sesudah internet. Dikatakan mereka terlatih multi-taskingdan lebih berjiwa pengusaha. Dengan hidup yang "tersambung smartphone sejak lahir", mereka juga disebut-sebut berpandangan lebih global ketimbang generasi sebelumnya, Millenials.

Tentu saja ukuran-ukuran di atas tidak berdiri dalam ruang kosong dan melampaui waktu. Hidup tidak berada dalam lempeng peristiwa tanpa gesekan gempa kekuasaan. Sejarah tidak ditulis dari setiap lembar baru dengan membakar lembar lama, bukan?   

Sebab, dalam kaitan kebahagiaan bersama ini, ada indikasi Gen Z disebut lebih protektif terhadap privasi ketimbang Millenials, misalnya, yang menggunakan social media lebih narsis dari yang sudah-sudah! Indikasi yang bagus dalam konteks bijak bermedia sosial namun berbahaya ketika dihadapkan dengan kebutuhan akan solidaritas berbangsa yang lebih politis.

Pasalnya, di lansekap yang lebih besar, jauh-jauh hari sebelum heboh Gen Z, dunia telah diramalkan akan menyaksikan akhir negara-bangsa. Revolusi transportasi, revolusi komunikasi dan liberalisme ekonomi membuat klaim-klaim lama negara-bangsa seperti daulat teritorial, militer dan ekonomi tak lagi banyak bicara. Akhir-akhir ini, yang paling mencolok adalah kapasitas pengawasan sistem negara-bangsa diguncang oleh ulah sindikat-sindikat digitalisme. Mereka mengakes dinding tebal keamanan informasi dan intelijen lantas membocorkannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun