Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Subyektivasi Pribumi, Anti-Kolonialisme Politisi Zaman Now dan Sedikit Pertanyaan

20 Oktober 2017   19:25 Diperbarui: 21 Oktober 2017   06:13 2201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu Kontras Hunian di Jakarta (2016) | Getty Images

Adalah hal yang lumrah apabila seorang politisi mengeksploitasi ideal dan sentimen tertentu demi mengikat emosi massa ke dalam jaring pengaruh dan stabilitas popularitasnya lewat pidato yang menyerukan persatuan perjuangan. Bahkan ketika teks politik tersebut diblejeti dengan pisau analisis tertentu lantas ditemukan pertentangan ide, asal-usul istilah, dan historical context  di dalamnya--atau dengan kata lain, teks bergelora yang ternyata mengumbar kekosongan--toh ia berhak menampilkan diri sebagai keniscayaan demokratis. Sebagai warga biasa di tipudaya pemilu, biar kita mikiiir!

Tentang teks pidato politik gubernur baru DKI Jakarta yang ramai sebab penggunaan istilah pribumi, jika kita meluaskan sumber-sumber perspektif, mungkin boleh membantu menemukan sedikit retakan konseptual. Paling kurang, memberikan tanda tanya besar terhadap seruan pidato dan terhadap cara pandang kita sendiri yang barangkali terlalu dalam berkubang polarisasi.

Saya akan meminjam dua sumber/tulisan untuk menunjukkan retak konseptual dimaksud. Tulisan yang berasal dari Zen RS dan Anto Sangadji. Atau, dari sudut amatiran, bisa dikatakan tulisan ini hanyalah catatan kaki kepada mereka.

Zen dalam tulisan berjudul Pribumi Monyet dan Paradoks Kepribumian dengan sangat tajam menunjukkan jika konsep pribumi beribukandung prasangka-prasangka kolonial. Prasangka-prasangka yang menyelinap kedalam laporan-laporan resmi, catatan perjalanan, karya sastra, bahkan laporan-laporan antropologis tentang bangsa penghuni tanah jajahan.

Prasangka kolonial ini berpusat pada pembedaan antara mereka yang beradab dan tidak (the Civilized vs the Uncivilized).  Seperasi beradab dan tidak beradab ini tentu berhubungan dengan kehendak untuk mendisiplinkan, menaklukan dan menjaga superioritas Barat. Menjadi rezim pengetahuan yang bekerja di balik kebijakan kolonial dan keuntungan ekonomi-politis dari padanya.

Selain itu, saya mau mengingatkan satu struktur mediatif yang bekerja diantara eksploitasi tuan kolonail kepada inlander.

Dalam pertempuran menegakkan superioritas, kendali ekonomi serta kontrol militer atas wilayah jajahan, rezim kolonial juga menciptakan yang disebut Marsose atau Korps Marechaussee te Voet dalam bahasa Belanda yang mula-mula muncul dalam Perang Aceh (1890-1913). Mereka yang bukan bagian langsung (non-Barat) namun bekerja melayani kelestarian dominasi kekuasaan kolonial. Penyebutan lainnya adalah centeng, komprador, kaki tangan,  atau proxy. Sekelompok kolonialis berkulit coklat, berkepala putih.

Eksistensi Marsose dalam politik kekinian tentu saja telah bergeser. Mereka bisa ada di dalam partai politik, pejabat militer, pejabat birokrasi hingga eksekutif-eksekutif NGO dan para akademisi. Eksistensinya sebagai Marsose zaman Now lebih abstrak, underground dan kompleks, tak lagi harus berperang dengan saudaranya sendiri lewat perang fisik.

Mereka adalah pribumi lahir batin juga. Atau Zen menyebutnya bagian Pribumi dengan P besar. Mereka ini patut diduga sebagai kelompok yang membuat perjuangan generas zaman sumbu pendek-paling benar sendiri lebih berat dibanding generasi zaman pergerakan, seperti peringatan Bung Karno dulu.

Di luar mereka ini, ada kelompok besar yang mewakili pribumi dengan hidup terus tertekan oleh pembangunan. Misalnya saja, ada masyarakat adat Amungme di lingkar konsesi Freeport yang suaranya tak terdengar di tengah ramai polemik divestasi saham perusahaan tambang yang telah mendapat ijin konsensi dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 1969.

Saya sendiri memiliki satu catatan tentang orang-orang kecil yang mengembangkan siasat untuk survive di tengah belantara Superblok Jakarta. Mereka adalah kelompok sosial-ekonomi yang bertahun-tahun lamanya mengikuti irama urbanisasi demi memperoleh remah-remah ekonomi metropolitan. Kehadirannya mewakili pribumi yang datang dari luar Jakarta, hidup dalam perkampungan padat, dan menggerakkan informalitas ekonomi . Anda boleh membacanya di Pasar Malam Ahok dan Secuil Narasi Orang Kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun