Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Buruh - Story Collector

Nomad Digital😎

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Musik Pengantar Minum Racun dan "Post-Truth Era"

1 Oktober 2017   11:21 Diperbarui: 2 Oktober 2017   07:16 4116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil PMR dan Kunto Aji, direncanakan mereka akan tampil pada perhetalan Kompasianival 2017 | Ilustrasi: OM_PMR

Pagi dan malam hari, makan tidur nyuci sendiri. Bahkan di saat sendiri, kudengar lagu kunto aji.
Kini aku pun menyadari setelah dengar lagu ini kuharus berusaha tapi mulainya darimana.

Sudah terlalu lama sendiri lama-lama bisa jadi mumi. Tinggal dalam piramid sendiri
semedi..Sudah terlalu tua begini, terlalu tua masih sendiri. Temen-temen udah pada mati
oh ngeri...

Dua lagi ini berangkat dari intensi yang sama, dunia batin laki-laki yang sibuk dengan dunianya sendiri. Lalu datang suasana yang menggugat suasana sendiri sebagai kondisi yang (seharusnya) dicemaskan. Lantas dimana arti spesial PMR? 

Saya melihat dua lagu ini berusaha memotret jomblo usia muda dan jomblo usia tua. Mengatakan bahwa PMR membuat lagu galau itu bernada jahil-jenaka sama dengan tidak mengatakan apa-apa. "Kelebihan PMR" adalah kemampuan mengungkap sisi yang lebih subtil dari kecemasan jomblo usia tua = lama-lama bisa serupa mumi yang bersemedi dalam piramid atau teman-teman sudah pada mati, ngeri. Namun penting untuk tidak melihat ini sebagai "buah permenungan filosofis" karena memang tidak untuk seserius itu. Kecemasan sendiri di masa tua, oleh PMR, adalah olok-olok yang memancing huahahaha. Tua dalam cemas memang pasti, memilih menertawakan adalah perkara kedewasaan! 

Musik sebagaimana produk dari berkesenian, tidak pernah hadir dari ruang hampa. Selain kreatifitas musikal pemusik, dunia sekitar yang mengitari, yang tak kalah seriusnya adalah relasi kuasa diam-diam yang dipelihara oleh sistem selera tertentu agar dominan dan marketable. Kritik terhadap hubungan selera musik, industri dan pasar bukan tidak datang dari kesadaran kekinian. Efek Rumah Kaca sudah melakukan itu lewat lagu Cinta Melulu yang dikaitkan dengan "selera Melayu, sukanya yang sendu-sendu".

Musik PMR, dalam kekaguman subyektif saya, adalah ekspresi dari musik "pengganggu selera dominan dan perayaan kejenakaan hidup pinggiran". Jelas berbeda dengan musik Iwan Fals yang tumbuh sebagai pengingat kritis bagi kekuasaan atau musik puitis KLA Project yang menjadi "pagar budaya" bagi selera kelas menengah, PMR tampil "olok-olok dari mereka yang tak ditampung keduanya" . 


Jika mendengarkan album mereka, ada lagu yang "menyuarakan kritisisme nan jenaka" seperti dalam lagu Antara Cinta dan Dusta, sindiran terhadap "tipe perempuan yang selalu tabah dengan segala sulit keadaan" dalam lagu Boneka India, atau mengeritik kemunafikan gaya hidup urban lewat lagu Gubuk Derita. 

Singkat cerita, ketika kritik-kritik terhadap kekuasaan akhir-akhir ini seperti menemukan "jalan buntu atau kondisi bebal" sedangkan lagu dengan kualitas puitik seperti KLA Project telah menjadi barang langka di tengah serbuan "Cinta Melulu", saya kira kemunculan PMR adalah semacam peringatan dari masa lalu. 

Masa lalu sejenis musik yang kaya dengan kritik yang jenaka atas keseharian, olok-olok cerdas terhadap klaim-klaim moral yang ekslusif, dan juga sindiran yang jahil terhadap sikap berlebih-lebihan terhadap (kebenaran) hidup yang fana. Musik jenis orkes Melayu yang perlu bagi era yang disebut dengan de-teritorialisasi dan de-centering subject; The Post-Truth Era.

Semoga. Sekurangnya-kurangnya buat saya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun