Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Buruh - Story Collector

Nomad Digital😎

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Musik Pengantar Minum Racun dan "Post-Truth Era"

1 Oktober 2017   11:21 Diperbarui: 2 Oktober 2017   07:16 4116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Personil PMR dan Kunto Aji, direncanakan mereka akan tampil pada perhetalan Kompasianival 2017 | Ilustrasi: OM_PMR

Benci...benci... tapi rindu jua...memandang wajah dan senyummu sayang..rindu...rindu... tapi benci jua...bila ingat kau sakiti hatiku. Antara benci dan rindu disini membuat mataku menangis.

Sedangkan versi hasil gubahan PMR berlirik seperti ini:

Yang hujan turun lagi. Angkatin jemurannya yang kau cuci. Yang panas datang lagi. Jemur pakaian yang kau angkat tadi.
Kalau hujan lagi, engkau angkat lagi. Sebaiknya kau bakar di api
Yang tidurlah di dapur, di dalam kamar air pada ngucur
Kita bercerita tentang orang kaya yang tidur di atas kasur mewah

Banjir banjir banjir datang lagi sayang, Yuk kita ngungsi kerumah orang. Aduh aduh aduh tidak ada lowongan. Tempatnya dipakai penuh barang.

Lirik Antara Cinta dan Benci menceritakan suasana batin yang terjerembab pada ambivalensi tak ada ampun. Hujan, payung hitam, jalanan basah, sapu tangan serta laut biru bukanlah sebatas kata benda. Jelas sekali, benda-benda itu merupakan "sistem metafor" yang memaksimalkan kesenduan dan hati patah seorang perempuan. Atau menggambarkan identitas utama perempuan dalam lagu zaman itu, selalu lemah dan kalah. Suara lembut Ratih Purwasih menerjemahkan kesenduan ini dengan baik. 

Ketika bermutasi pada kesadaran musikal PMR, kita melihat pembalikan (inversi) yang tidak sekedar asal melucu. Di lagu ini, hujan-panas, jemuran, dapur, kamar bocor, kasur mewah, dan mengungsi tidak membicarakan lagi perkara hubungan cinta yang berantakan. PMR membalik sekaligus mengangkat suasana sendu menjadi potret atas realitas hidup orang-orang kecil yang berkali-kali terpapar banjir. Ada nada pasrah (= jemurannya bakar saja di api), hidup yang sesak (= tidur di dapur) dan kecemburuan sosial (= orang kaya di kasur mewah). Mendengar lirik ini dalam ketukan dang..dang..dut, saya bukan saja ingin berjoget. Saya berjoget dalam suasana hati yang terkurung "komedi satir".


Dengan maksud lain, pada Ratih, lagu itu menjadi "melankoli individual", pada PMR, ia bermutasi sebagai "tragi-komedi sosial".

Lagu kedua mereka adalah buah dari membongkar karya Terlalu Lama Sendiri yang digubah dari lagu berjudul sama milik Kunto Aji, PMR memang tidak melakukan "teknik inversi" seperti terhadap Antara Cinta dan Benci. Lebih persisnya, kita perhatikan perbandingan keduanya. Penggal lirik awal dari Kunto Aji bertutur:

Sudah terlalu lama sendiri. Sudah terlalu lama aku asyik sendiri. Lama tak ada yang menemani rasanya
Pagi ke malam hari tak pernah terlintas di hati. Bahkan di saat sendiri aku tak pernah merasa sepi. Sampai akhirnya kusadari aku tak bisa terus begini. Aku harus berusaha tapi mulai dari mana.

Sudah terlalu lama sendiri. Sudah terlalu lama aku asyik sendiri. Lama tak ada yang menemani rasanya.
Sudah terlalu asyik sendiri. Sudah terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Lama tak ada yang menemani rasanya

Ada pun versi PMR yang juga berjudul Too Long to be Alone, penggal liriknya menjadi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun