Pada mulanya, saya berpikir wajahnya adalah keberterimaan yang saya jumpai dalam sajak Jokpin. Yakni tentang perempuan yang merelakan rambutnya penuh keperakan disepuh gerimis. Seolah hendak mengatakan, dengan keyakinan yang baru, "Selamat tinggal, Kecantikan!"
Saya lalu mengira, dia seorang perempuan di sebuah Patio dalam sajak Avianti Armand. Yang telah berlatih bertahun-tahun untuk menyempurnakan ketabahannya melawan sendiri. Atau menjadi sedih adalah latihan berkali-kali agar tahu siapakah yang sesungguhnya pantas menemaninya.
Saya melihat wajahnya pagi ini.
Ketika sayup senyap Hening Cipta dipaksa mengiringi air yang mengalir kuning dari dosa-dosa negara di sebuah upacara, wajahnya muncul dari tanah merekah. Sesaat sesudah Pancasila dikhotbahkan, ia meremas payudaranya yang kempes ke mimpi-mimpi yang menunda mati. Tak ada air susu yang tumpah. Hanya risau angin yang berhembus, laksana pengantin bagi nyanyian Pulau Kelapa di depan hutan beton ilusi kota.
"Hari ini 17 Agustus."
Gumam itu keluar dari bibir dengan tembang-tembang revolusi yang payau, kemudian lepas satu-satu sebab dimakan pembangunan. Saya merasa ini sejenis mantra yang sedang diurapinya pada sumber air susunya yang telah pula mengering lelah. Demi menyelamatkan mimpi saya.
Masih tak ada air susu. Hanya desau risau angin kering Agustus. Dan air mata yang menggenapkan kepasrahan.
Perempuan itu kini menggali ari-ari yang menyimpan kehidupan sebelum ke bumi. Dia mencari hal-hal sebelum ada, sebelum kehadiran difanakan. Mencari peristiwa sebelum semua bernama. Sebelum Republik ada. Sebelum saya menjadi warga negara.
Di rahimnya yang menganga, saya melihat bocah-bocah berkejaran dengan sayap Garuda. Saya menemukan saya diantara mereka, gembira di langit cerah. Sedang perempuan itu sedang duduk di segulung awan yang darinya ia menjahit sandal juga baju hangat bagi perjalanan nasib. Mendadak saya melihat wajah perempuan yang setia mengasuh malam-malam dimana Republik kedinginan dan cengeng.
Wajahnya adalah wajah ibu pertiwi.
2017
***