Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Nomad Digital

Udik!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Ranieri, Si Tua Penulis Narasi Tandingan

27 Februari 2017   12:06 Diperbarui: 28 Februari 2017   18:00 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.premierleague.com

Ranieri memang bukan satu-satunya pelatih dengan sejarah sesudah juara liga Inggris terus dipecat. Ada dua kawanuanya, Ancelotti dan Mancini serta si "Tukang Kompor", Mourinho. Tapi tetap saja duka Ranieri jauh lebih bikin nyesek dari tiga pelatih beda angkatan dengannya itu. 

Pria yang sebelum menciptakan "Dongeng Leicester" di Liga Inggris musim kemarin dijuluki Mr. Runner Up atau Tinkerman kini seperti seorang renta yang berjuang di zaman yang salah. Lelaki Italia yang lahir tahun 1951 ini memang beda nasib dengaan Arsene Wenger yang makin terlihat sepuh dan (sepertinya) mentok namun terus dipertahankan. Sedang dengan prestasi yang begitu-begitu saja paska generasi Bergkamp, Henry, Viera, hemat saya Arsenal sudah seharusnya mendeklarasikan, "Putus dan kita gak boleh bareng lagi, Prof. Ora sudi!"

Sebentar para Gooners, especially Mba Mike dan Mba Indira, membandingkan keduanya jelas tidak tepat. Ranieri pernah pula melatih klub-klub besar di Eropa seperti Chelsea atau Juventus. Pernah ditopang dana yang melimpah demi menjaga kedalaman skuad, dan ironisnya, dalam sejarah klub besar ini, dia justru tidak pernah juara. Leicester adalah capaian puncak juara liga pertama kali di kompetisi elit Eropa dan sangat bisa jadi adalah yang terakhir kalinya. Dan andai Wenger yang melatih di King Power Stadium, dongeng Leicester itu tidak pernah ada. Tidak pernah ada kisah inspiratif untuk dunia dari Vardy atau Mahrez dan Kante. 

Karena melakukan perbandingan seperti di atas adalah kesalahan sejak dalam asumsi, maka kita tidak bicara soal yang sepuh dan batal menjadi mantan! Mari bicara tentang seorang tua dalam dunia yang serba berkompetisi dan menuntut prestasi. Ini lebih baik dan lebih mewakili perasaan saya, sang jelata.

Dunia yang Mewajibkan Prestasi 

Kompetisi telah menjadi nilai utama dunia. Semua pemimpin dunia memfatwakannya dalam pidato-pidato. Semua warga dunia harus mengamininya, menginternalisasinya, dan melibatkan diri kedalam hukum-hukumnya. Berpikir di luar sistem nilai seperti ini akan terlihat lebih absurd dari cerita Orang Asing-nya Albert Camus, rasa-rasanya.

Ranieri adalah seorang tua yang bukan hidup dengan biografi sejarah kalah seluruhnya. Kalau menyimak ulang video pertandingan Juventus versus Real Madrid yang berakhir dengan kemenangan Si Nyonya Tua, racikan taktiknya tidak buruk. Namun itu tidak cukup. Berkompetisi harus berujung pada juara di level puncak, bukan menjadi juara pada level dua, tiga, atau level yang isinya para amatir. 

Kompetisi yang seram ini tidak semata perkara kesadaran dan perilaku yang konsisten. Tidak semata ihwal laku manusia, kita tahu itu. 

Dalam sepakbola, kompetisi yang dimenangkan membutuhkan dukungan dari kapasitas keuangan dan organisasi klub yang visioner lagi ambisius. Dua yang terakhir sepertinya belum dimiliki oleh Vichai Srivaddhanaprabha, seorang Thailand yang membeli The Foxes, julukan Leicester, sejak 2010. Dalam kepemilikan Vichai, ketika juara, nilai transfer De Bruyne ke Man City jauh lebih mahal dari pada nilai seluruh punggawa Leicester. De Bruyne bernilai 77 juta euro, sedang nilai klub yang berasal dari kota yang memiliki sejarah berburu rubah hanya 72 juta euro. Ampuun. 

Dalam sumberdaya untuk berkompetisi yang jomplang kayak begini, kerja Tinkerman di musim kemarin hanya masuk dalam kategori salah satu daftar keajaiban dunia, mengikuti Nottingham Forest, 1978 silam. Ranieri sukses mematahkan anggapan skuad mahal (baca: kekuatan uang) dekat dengan mengangkat tropi seperti bertahun-tahun dipercaya Florentino Perez di Real Madrid.    

Akan tetapi, kita mahfum, setiap kompetisi tidak datang dengan tantangan yang sama. Setiap yang gagal akan berbenah, setiap yang sukses ditantang harus terus konsisten dengan performa. Ini yang tidak berulang terjadi di musim ini. Ranieri tahu dan ia tidak memiliki target muluk-muluk. The Foxes bukan saja bertarung di sengitnya liga domestik. Belum lagi, ada pilarnya yang begitu konstan bermain yang dibajak Chelsea demi ambisi kembali menjadi yang terhormat bersama Conte.

Mengutip Perdana Nugroho, paling tidak, ada empat alasan kegagalan Ranieri dan Leicester di musim ini. Yakni, geliat tim-tim elit, kekutsertaan di liga Champions, para pemain baru yang belum teruji dan Ranieri yang kehilangan tangan kanannya.  Tiga sebab terakhir dapat dipandang sebagai persoalan dalam rumah yang tidak cukup mulus diselesaikan Ranieri di awal musim hingga tiba keputusan ia dipecat. Tidak terlalu detil di mata saya bila kita membicarakan taktik yang diterapkan untuk menjaga sistem bermain yang memungkinkan Leicester memaksimalkan sumberdaya skuad agar terus berada di level pertarungan tim-tim elit yang pada musim sebelumnya terpuruk atau belum menemukan bentuk terbaiknya. 

Oleh karena itu, dari empat alasan di atas, Ranieri terlihat seperti orang tua yang memaksa bertarung di zaman yang bergerak cepat dan menyingkirkan siapa pun yang tidak sungguh-sungguh siap. Saya kira lelaki tua ini bukan kehilangan sentuhan sebab Leicester masih bisa lolos dari seleksi grup di liga Champions yang merupakan medan tarung paling elitis dari klub-klub kaya dunia di Eropa. Ranieri adalah seorang tua yang tidak cukup dukungan namun masih berusaha menggapai target realistisnya: tidak terdegradasi.

Pemecatan itu jelas sesuatu yang kejam bila ditakar dengan penghormatan atas prestasi yang ditulisnya. Atau dengan menggunakan nurani kepada seorang tua yang berusaha membuktikan dirinya masih layak. Prestasi yang belum tentu dalam setengah abad di muka bisa ditulis ulang oleh Leicester. Masalahnya, apa yang tidak kejam dari kompetisi yang digelorakan oleh sistem industrial dalam sepakbola? Artinya, rasa sedih saya terlihat tidak relevan. Suara sedih saya sebagai bagian dari masyarakat fans selalu tidak relevan, kami adalah sejujurnya Silent Majority sepakbola dalam situasi demikian. 

Perasaan sama yang bersemburat mengaduk-aduk ketika Alex "The King" Delpiero harus pergi dari Juventus Stadium dan menemui senjakala karirnya di liga kasta empat di Australia. Kerasnya kompetisi membuat klub harus selalu berorientasi ke masa depan, tidak melihat apalagi disandera ke masa lalu. Selain juga, manusia sebagai bagian dari yang fana, selalu ada masa senjakala yang menghampiri secara pasti, perjalanan waktu hanya membuatnya berada dalam misteri. Semegah apa pun masa lalu, kita tidak berada di hari ini untuk menghidupinya.

The Underdog's dan Narasi Sejarah Tandingan

Kondisi yang dialami Ranieri--seorang tua di zaman serba kompetisi--juga membuat saya mengenang lagi judul besar Leicester adalah Kita yang ditulis Pangeran Siahaan dengan bagus sekali. Leicester adalah Kita berkisah tentang kaum Underdog's yang selalu diposisikan tidak penting, pinggiran, bukan siapa-siapa, sekedar penggembira, jelata yang dipandang bodoh dan tidak penting didengar. Namun Underdog's dalam perwujudan "The Foxes" membalik cara pandang dan keyakinan seperti ini. Ranieri adalah master mind-nya. 

The Underdog's yang bersatu padu, berkomitmen, bersungguh-sungguh selalu bisa menulis sejarah besar yang tak terbayangkan sebelumnya. Ranieri dan Leicester pernah memberi contohnya. Contoh yang dalam 100 tahun sepakbola belum tentu ada lagi, seolah keniscayaan yang mustahil. Terlebih pada gairah menulis sejarah yang didominasi kasta elit alias klub-klub super dengan investasi besar. Narasi tandingan Leicester membuat klub serupa Juventus, Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Bayern Munchen tidak ditakdirkan sebagai penulis sejarah tanpa alternatif.   

Saya sepenuhnya kagum pada cinta tak pernah surut Mas Joko P terhadap Real Betis. Klub gurem yang bertahan di level bawah La Liga. Sekali lagi, bertahan di level bawah!

Ranieri sudah pernah membuktikan bangsa Underdog's selalu bisa menulis sejarah tandingan. Sejarah tandingan yang membuat kesedihan saya, terlebih kala memandang matanya yang sendu, tidak perlu berlarut. Walau saya tahu, masa tua seperti Ranieri bisa memangsa kapan saja. 

Anda abadi Om Ranieri, waktulah yang fana!

***    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun