Pagi itu, ketika saya sedang menyambut kedatangan siswa di gerbang sekolah, pandangan saya tertuju pada satu sosok yang berbeda.
Seorang siswa datang mengayuh sepeda tuanya perlahan. Tidak seperti kebanyakan teman-temannya yang diantar orang tua atau datang mengendarai motor, ia datang sendiri, dengan seragam yang sudah agak basah keringat tapi wajah yang penuh semangat.
Setelah memarkir sepedanya seadanya, ia menyalamiku dengan sopan. Saya bertanya pelan, apakah setiap hari ia berangkat dengan sepeda itu. Ia mengangguk sambil tersenyum,
“Iya, Pak. Rumah saya di Gedung Air. Lumayan jauh, tapi nggak apa-apa. Kalau pagi udaranya segar.”
Saya terdiam. Saya tahu jarak dari Gedung Air ke sekolah cukup jauh, dengan jalan menanjak yang tidak ringan. Tapi anak ini menempuhnya setiap hari - tanpa mengeluh, tanpa merasa kurang.
Lalu saya pun kembali bertanya, apakah setiap hari kamu naik sepeda ke sekolah, Nak?
Ia menjawab, “Iya, Pak, kecuali pas hujan saya naik ojek online.”
“Kenapa tidak bawa motor sendiri?” tanya saya penasaran.
Ia menjawab singkat tapi tegas, “Tidak, Pak. Saya belum punya SIM.”
Sederhana, jujur, dan bertanggung jawab.
Di era ketika banyak anak merasa malu datang ke sekolah tanpa kendaraan, siswa ini justru memberi pelajaran diam-diam: bahwa kesederhanaan masih hidup, meski di tengah dunia yang makin gemerlap.