Setiap kotak makan bergizi yang dibagikan di sekolah-sekolah Lampung bukan sekadar menu harian, melainkan harapan bagi masa depan anak-anak. Data Kanwil DJPb Lampung mencatat, 97.687 siswa telah menerima manfaat hingga Maret 2025.Â
Beberapa bulan kemudian, realisasi Agustus 2025 menunjukkan lonjakan hingga 1,3 juta anak. Meski begitu, angka ini masih 65 persen dari target 2,02 juta penerima, menyisakan pekerjaan rumah besar untuk memastikan tak ada anak yang tertinggal dari program ini. Cakupan sudah cukup luas - tetapi bukan berarti tantangannya kecil.
Bulan lalu, saya menyaksikan sendiri dampak dari kelemahan operasional program ini: anak saya, yang baru tiga kali menerima makanan dari MBG, jatuh sakit dengan gejala keracunan. Ia muntah-muntah dan lemas, hingga akhirnya harus mendapatkan perawatan medis.Â
Sekolah kemudian menghentikan distribusi sementara karena sampel menu tengah diuji di laboratorium.
Peristiwa itu bukan hanya membuat hati gelisah, tapi juga menggugah kesadaran: seberapa matangkah mekanisme MBG di lapangan? Apakah hanya menjaga nominal penerima manfaat, tanpa memperhatikan pemasakan bahan, pengolahan, dan kecocokan menu?
Kini saatnya menutup drama dan membangun fondasi baru: MBG berbasis pangan lokal Lampung yang aman, sehat, dan disukai anak-anak.
Dan menurut saya, salah satu kunci penting ada pada pangan lokal.Â
Berangkat dari identitas saya sebagai bagian dari Bumi Ruwa Jurai, Lampung, maka ulasan kali ini akan saya arahkan pada konteks Lampung.
Pangan Lokal: Kekuatan yang Terlupakan
Indonesia punya kekayaan sumber karbohidrat selain nasi: singkong, jagung, ubi, hingga sagu. Bahkan di beberapa daerah, pangan non-beras adalah makanan pokok.Â