Dari UN ke TKA: Sejarah yang Berulang?
UN pernah menjadi simbol objektivitas standar akademik nasional. Namun, kritik terhadap UN - mulai dari tekanan psikologis hingga tidak adanya jaminan pemerataan akses- membuat pemerintah akhirnya mencabutnya.
Pasca - UN, seleksi perguruan tinggi kembali bertumpu pada rapor, ujian mandiri, dan nilai ijazah. Masalahnya, penilaian rapor dianggap rawan manipulasi. Istilah “sedekah nilai” muncul, merujuk pada praktik sekolah atau guru yang memberi nilai longgar demi menaikkan peluang siswa diterima.
Kini, dengan munculnya TKA, sebagian publik khawatir pola lama akan terulang. Hanya berganti nama dan format, tetapi esensi sama: tes standar berskala nasional dengan potensi menjadi penentu masa depan.
Bedanya, TKA membawa wajah baru: bukan lagi “penentu kelulusan”, melainkan “gerbang masuk jenjang berikutnya.” Pertanyaannya, jika benar-benar diterapkan, TKA berisiko menjadi semacam “UN jilid baru” atau versi reinkarnasi UN dengan wajah berbeda?
Secara logika kebijakan, kehadiran TKA bisa dipahami. Negara butuh instrumen yang bisa mengukur kualitas akademik siswa dengan standar nasional. Namun, di balik niat baik itu, ada kontradiksi yang justru menimbulkan kebingungan publik.
Paradoks Kebijakan: Opsional yang Memaksa
Pemerintah mengatakan TKA tidak wajib. Namun, ketika skor TKA diwacanakan sebagai syarat masuk PTN, Akmil, Akpol, hingga sekolah kedinasan, sifat “opsional” itu luruh. Murid yang tidak mengikuti TKA praktis kehilangan kesempatan bersaing di jalur-jalur strategis tersebut.
Artinya, pilihan itu semu. Opsional hanya sebatas dokumen kebijakan, tetapi wajib secara praktik. Inilah yang membuat publik meragukan konsistensi pemerintah. Apakah benar ingin memberi fleksibilitas kepada siswa, atau sekadar mengganti nama “UN” dengan wajah baru?
Paradoks ini juga berisiko menciptakan ketidakpastian. Guru, siswa, dan orang tua bingung menentukan strategi belajar. Apakah perlu serius mempersiapkan TKA atau cukup mengandalkan rapor? Kerancuan semacam ini bukan hanya membingungkan, tetapi juga bisa melahirkan kecemasan kolektif di dunia pendidikan.
Analogi paling sederhana: bayangkan sebuah jalan satu arah. Pemerintah bilang, “Jalan ini opsional, tidak semua harus lewat.” Namun, ketika semua jalur utama menuju kota hanya bisa ditempuh melalui jalan satu arah itu, maka apa arti opsional? Ia berubah menjadi wajib secara de facto.