Tantangan Baru: Perubahan Iklim dan Panen Tradisional
Belakangan, perubahan iklim menjadi ujian baru bagi petani. Musim hujan dan kemarau semakin sulit diprediksi. Bagi petani tradisional, terutama perempuan desa yang mengandalkan metode lama, situasi ini menambah lapisan kerumitan.
Menjemur padi, misalnya, kini jauh lebih berisiko. Hujan bisa tiba-tiba turun di tengah hari, membuat gabah yang belum kering terancam rusak. Kadar air yang tidak stabil dapat menurunkan kualitas beras, bahkan memicu jamur. Begitu pula dengan lumbung bambu tradisional yang rentan terhadap kelembaban udara tinggi.
Fenomena global seperti El Nio dan La Nia pun berimbas langsung pada desa-desa kecil. FAO (Organisasi Pangan Dunia) bahkan menyebut perubahan iklim sebagai ancaman terbesar bagi produksi pangan dunia. Di tengah kondisi itu, perempuan desa kembali memainkan peran penting: pengalaman panjang mereka membaca tanda-tanda alam - dari arah angin, gerak awan, hingga perilaku burung - menjadi pengetahuan tak tertulis yang membantu desa bertahan.
Menjaga yang Lama, Merangkul yang Baru
Kearifan lama dalam pertanian bukan berarti menolak teknologi. Justru tantangannya adalah bagaimana menemukan titik temu antara efisiensi modern dan nilai kebersamaan tradisional. Perempuan desa dapat tetap menjadi aktor penting, bukan hanya sebagai tenaga kerja, tetapi juga sebagai penjaga nilai.
Pascapanen tradisional - dari merontokkan padi, menjemur, hingga menyimpan di lumbung - perlu didokumentasikan dan dirayakan sebagai bagian dari identitas budaya agraris kita. Dengan begitu, anak cucu kelak tidak hanya mengenal beras dalam karung plastik dari supermarket, tetapi juga memahami perjalanan panjang bulir padi dari sawah hingga menjadi nasi di meja makan.
Perspektif Reflektif
Kisah panen tradisional yang dijalankan perempuan desa sesungguhnya lebih dari sekadar romantisme masa lalu. Ia adalah pengingat bahwa pertanian memiliki wajah budaya dan kemanusiaan yang tak boleh hilang di balik jargon modernisasi.
Jika kearifan lama ini punah, yang hilang bukan hanya alat sederhana seperti sabit atau lumbung bambu, melainkan juga nilai kebersamaan, solidaritas, dan rasa syukur yang menjadi inti dari kehidupan agraris.
Pertanyaannya: apakah kita rela melihat sawah hanya sebagai mesin produksi, tanpa lagi mendengar suara tawa perempuan desa di pematang, atau menyaksikan bulir padi dijemur di bawah matahari desa?