Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bulir Padi di Tangan Perempuan, dan Jejak Kearifan yang Terancam Hilang

24 September 2025   09:02 Diperbarui: 24 September 2025   11:52 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjemur padi bagian dari proses panen yang membutuhkan kemampuan membaca cuaca. (Sumber: kompas.com)

Program subsidi pupuk juga menghadirkan ironi. Data BPS menunjukkan lebih dari 70 persen petani Indonesia adalah petani kecil, namun mereka sering kali kesulitan mengakses pupuk subsidi karena keterbatasan kartu tani atau keterlambatan distribusi. 

Akibatnya, perempuan desa yang biasanya mengatur ekonomi rumah tangga harus memutar otak lebih keras. Mereka menjadi "manajer krisis" di dapur, sekaligus tenaga tambahan di sawah ketika biaya produksi membengkak.

Food estate, yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan baru, juga menimbulkan tanda tanya. Model pertanian skala besar ini dikelola dengan pendekatan korporasi dan teknologi tinggi. Pertanyaannya: di mana posisi petani kecil dan perempuan dalam skema besar itu? Jika lahan-lahan rakyat makin terpinggirkan, maka semakin sedikit ruang bagi kearifan lokal dan praktik tradisional yang diwariskan perempuan desa.

Di sinilah letak kegelisahan saya. Modernisasi dan kebijakan pangan nasional memang penting, tetapi jangan sampai melupakan wajah riil pertanian: jutaan keluarga kecil yang bertumpu pada sawah sempit, dengan perempuan sebagai penopang utama. Tanpa perspektif keberpihakan, modernisasi bisa berubah menjadi alat peminggiran yang justru memperlebar jurang antara petani kecil dengan korporasi besar.

Modernisasi dan Pergeseran Peran

Tak bisa dipungkiri, kehadiran mesin pertanian mempercepat kerja. Combine harvester dapat menyelesaikan panen berhektar-hektar sawah hanya dalam hitungan jam. Tetapi, efisiensi itu datang dengan konsekuensi.

Sabit padi tergantikan, gabah tak lagi dijemur, bahkan lumbung desa pun hilang satu per satu. Proses yang dulu menyatukan warga kini berubah menjadi sekadar pekerjaan mekanis yang dikerjakan operator mesin.

Akibatnya, peran perempuan dalam siklus pertanian kian menyusut. Mereka kehilangan ruang sosial yang dulu hadir dalam aktivitas bersama: menjemur padi sambil bercengkerama, menumbuk gabah sambil bertukar cerita, atau bergotong royong saat menyimpan hasil panen di lumbung. 

Modernisasi, di satu sisi, memang mengurangi beban fisik. Namun di sisi lain, ia juga memutus rantai kebersamaan yang menjadi inti kearifan lokal.

BPS mencatat, hampir 33 persen tenaga kerja pertanian di Indonesia adalah perempuan. Angka itu menunjukkan betapa besar kontribusi mereka. Sayangnya, kontribusi tersebut semakin tak terlihat di tengah mekanisasi yang serba cepat.

Modernisasi pertanian dengan combine harvester selain membantu produktivitas pertanian namun menyisakan masalah lain (Sumber: kompas.com) 
Modernisasi pertanian dengan combine harvester selain membantu produktivitas pertanian namun menyisakan masalah lain (Sumber: kompas.com) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun