Program subsidi pupuk juga menghadirkan ironi. Data BPS menunjukkan lebih dari 70 persen petani Indonesia adalah petani kecil, namun mereka sering kali kesulitan mengakses pupuk subsidi karena keterbatasan kartu tani atau keterlambatan distribusi.Â
Akibatnya, perempuan desa yang biasanya mengatur ekonomi rumah tangga harus memutar otak lebih keras. Mereka menjadi "manajer krisis" di dapur, sekaligus tenaga tambahan di sawah ketika biaya produksi membengkak.
Food estate, yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan baru, juga menimbulkan tanda tanya. Model pertanian skala besar ini dikelola dengan pendekatan korporasi dan teknologi tinggi. Pertanyaannya: di mana posisi petani kecil dan perempuan dalam skema besar itu? Jika lahan-lahan rakyat makin terpinggirkan, maka semakin sedikit ruang bagi kearifan lokal dan praktik tradisional yang diwariskan perempuan desa.
Di sinilah letak kegelisahan saya. Modernisasi dan kebijakan pangan nasional memang penting, tetapi jangan sampai melupakan wajah riil pertanian: jutaan keluarga kecil yang bertumpu pada sawah sempit, dengan perempuan sebagai penopang utama. Tanpa perspektif keberpihakan, modernisasi bisa berubah menjadi alat peminggiran yang justru memperlebar jurang antara petani kecil dengan korporasi besar.
Modernisasi dan Pergeseran Peran
Tak bisa dipungkiri, kehadiran mesin pertanian mempercepat kerja. Combine harvester dapat menyelesaikan panen berhektar-hektar sawah hanya dalam hitungan jam. Tetapi, efisiensi itu datang dengan konsekuensi.
Sabit padi tergantikan, gabah tak lagi dijemur, bahkan lumbung desa pun hilang satu per satu. Proses yang dulu menyatukan warga kini berubah menjadi sekadar pekerjaan mekanis yang dikerjakan operator mesin.
Akibatnya, peran perempuan dalam siklus pertanian kian menyusut. Mereka kehilangan ruang sosial yang dulu hadir dalam aktivitas bersama: menjemur padi sambil bercengkerama, menumbuk gabah sambil bertukar cerita, atau bergotong royong saat menyimpan hasil panen di lumbung.Â
Modernisasi, di satu sisi, memang mengurangi beban fisik. Namun di sisi lain, ia juga memutus rantai kebersamaan yang menjadi inti kearifan lokal.
BPS mencatat, hampir 33 persen tenaga kerja pertanian di Indonesia adalah perempuan. Angka itu menunjukkan betapa besar kontribusi mereka. Sayangnya, kontribusi tersebut semakin tak terlihat di tengah mekanisasi yang serba cepat.