Kesetiaan sering kali terdengar indah ketika diucapkan di pelaminan atau dalam janji suci pernikahan. Dua insan berikrar akan saling mendampingi, berbagi suka duka, hingga maut memisahkan. Namun, tidak semua orang mampu benar-benar menjaga janji itu sepanjang hidup. Ada yang goyah di tengah perjalanan, ada pula yang memilih membuka lembaran baru. Itu manusiawi.
Namun, di antara banyak cerita, ada satu kisah nyata yang begitu menggetarkan hati saya - kisah kakak ipar saya sendiri, Mak Poh Tun, begitu anak-anak kami memanggilnya. Seorang wanita berusia sekitar 65 tahun yang tinggal di Magetan, Jawa Timur. Pernah, ia menetap beberapa bulan bersama kami di Bandar Lampung, tetapi akhirnya memilih kembali ke rumah lamanya di Magetan - rumah sederhana yang kini sudah diperbaiki.
Di sanalah ia tetap bertahan, menyimpan dan merawat kenangan bersama anaknya, sekaligus menata hidupnya sendiri dengan ketabahan. Ia adalah sosok sederhana yang membuktikan bahwa kekuatan seorang perempuan tidak hanya ada dalam cerita, melainkan nyata hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Awal Kehilangan
Rumah tangganya hancur bukan karena maut, melainkan karena pilihan pahit: suami yang ia cintai memilih pergi bersama wanita lain. Luka itu begitu dalam, terlebih saat anaknya masih balita dan sangat membutuhkan sosok ayah. Dunia seakan runtuh, tapi ia tidak punya banyak waktu untuk meratapi nasib. Ada anak yang harus tumbuh, ada hidup yang harus diteruskan.
Sejak saat itu, ia memutuskan untuk menjalani hidup seorang diri. Bukan karena tidak ada lelaki lain yang mendekat - banyak yang mencoba mengajaknya membina rumah tangga baru- tetapi karena ia sudah terlanjur trauma. Hatinya memilih untuk menutup pintu. Yang terpenting baginya hanyalah mendidik dan membesarkan anaknya.
Dalam kondisi itu, banyak orang mungkin memilih mencari sandaran baru. Tidak sedikit perempuan muda yang kehilangan pasangan akhirnya menikah lagi demi stabilitas hidup dan masa depan anak. Itu wajar. Namun, kakak ipar saya memilih jalan yang berbeda. Ia menolak setiap ajakan laki-laki yang ingin membina rumah tangga dengannya. Bukan karena tidak ada yang mau, melainkan karena hatinya sudah cukup terluka dan ia tidak ingin mengulang luka yang sama.
Baginya, cinta masa lalunya sudah selesai. Yang tersisa kini adalah kesetiaan pada dirinya sendiri, pada anak yang ia besarkan, dan pada prinsip hidup yang ia pegang teguh. Ia menganggap suaminya telah tiada, namun cintanya akan tetap ia bawa.
Hidup dalam Kekurangan
Keputusan itu tentu tidak mudah. Hidup harus dijalani dengan segala keterbatasan. Ia tidak punya pendidikan tinggi, tidak punya keterampilan khusus, dan tidak punya warisan harta yang bisa menopang. Untuk bisa bertahan hidup bersama anaknya, ia rela bekerja apa saja.