Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sama-sama Dewan, tapi Bagai Langit dan Bumi: Ironi DPR dan Guru Honorer

30 Agustus 2025   14:24 Diperbarui: 31 Agustus 2025   18:57 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik kerap dikejutkan dengan berbagai fasilitas dan tunjangan anggota DPR, mulai dari tunjangan beras hingga wacana kenaikan gaji pejabat yang jumlahnya tidak sedikit. Ironinya, jika dihitung-hitung, satu tunjangan anggota dewan saja bisa menjadi nafkah berbulan-bulan bagi seorang guru honorer.

Tunjangan beras yang nilainya jutaan rupiah bagi anggota DPR mungkin setara dengan gaji sepuluh bulan seorang guru honorer di pelosok. Perbandingan ini terasa getir, terutama di tengah kisruh pendidikan, ketika banyak guru honorer akhirnya memilih resign karena gajinya tak cukup untuk bertahan hidup.

Definisi yang Menggugah Ironi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dewan berarti “majlis atau badan yang terdiri dari beberapa orang anggota sebagai penasihat, pertimbangan, atau pemutus sesuatu.”
Definisi ini menempatkan kata dewan pada posisi terhormat: sekelompok orang yang dipercaya, diberi amanah, dan memikul tanggung jawab besar untuk kepentingan bersama.

Namun, di negeri ini, kita mengenal dua dewan yang nasibnya bagai langit dan bumi: Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Guru. Sama-sama disebut dewan, tetapi kehidupan sehari-hari keduanya jauh dari kata sebanding.

Sama-sama “Dewan”, Sama-sama Punya Peran

Sebutan “dewan” dalam dunia pendidikan sering kali terasa timpang. Guru, yang dikenal sebagai “Dewan Guru”, berdiri di depan kelas, mengabdi mendidik anak bangsa, tetapi jauh dari kata sejahtera. Sementara “Dewan” dalam arti wakil rakyat hidup dengan fasilitas melimpah, gaji besar, dan berbagai tunjangan yang nilainya bisa menyamai nafkah berbulan-bulan para guru honorer.

Perbandingan ini kerap menggelitik nurani. Sama-sama “dewan”, sama-sama punya peran penting bagi masyarakat. Bedanya, guru mencetak generasi, sedangkan wakil rakyat mewakili suara masyarakat. Namun, dalam hal penghargaan, seolah ada jurang yang sangat lebar.

Dewan di Gedung vs Dewan di Kelas

Anggota DPR disebut wakil rakyat. Mereka digaji belasan hingga puluhan juta setiap bulan, ditambah tunjangan rumah dinas, kendaraan, biaya perjalanan dinas, hingga dana aspirasi. Mereka duduk di kursi empuk, berdebat dalam rapat paripurna, lalu pulang dengan jaminan kesejahteraan.

Di sisi lain, ada Dewan Guru. Tidak semua guru memang bernasib sama. Guru PNS memiliki gaji tetap dan tunjangan profesi. Tetapi di balik itu, ada ratusan ribu guru honorer yang masih bertahan dengan gaji ratusan ribu rupiah, bahkan sering terlambat cair. Ada yang digaji hanya Rp300 ribu per bulan, ada pula yang harus mengajar di dua atau tiga sekolah, bahkan harus harus menjadi ojol untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Yang lebih ironis, dalam beberapa bulan terakhir, banyak guru honorer akhirnya memilih resign. Bukan karena tidak cinta mengajar, melainkan karena realitas hidup tak bisa ditawar. Biaya listrik, kebutuhan anak, dan harga bahan pokok tak bisa dibayar dengan idealisme.

Kisruh Guru Honorer: Pahlawan Tanpa Penghasilan Layak

Kisruh guru honorer bukanlah isu baru. Pemerintah memang telah membuka jalur ASN-PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk mengakomodasi mereka. Namun, prosesnya penuh ketidakpastian. Ada yang lolos seleksi tapi belum ditempatkan, ada yang menunggu penetapan gaji, bahkan ada yang gagal meski sudah puluhan tahun mengabdi.

Sementara itu, di ruang-ruang kelas, keberadaan mereka sangat vital. Di pelosok, tidak jarang sebuah sekolah hanya memiliki satu atau dua guru PNS, sisanya adalah honorer. Mereka mengisi kekosongan, mengajar dengan segala keterbatasan, sekaligus menjadi penggerak pendidikan di akar rumput.

Sayangnya, apresiasi yang mereka terima tidak sebanding. Julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” yang sering diulang-ulang justru terasa pahit: mereka adalah pahlawan yang juga tanpa penghasilan layak.

Nafkah Seorang “Dewan” vs Nafkah Guru Honorer

Tunjangan wakil rakyat bisa mencapai puluhan juta per bulan. Bahkan, satu kali rapat atau kunjungan kerja bisa menghasilkan angka yang nilainya cukup untuk menghidupi keluarga honorer selama berbulan-bulan. Bandingkan dengan gaji guru honorer yang kadang hanya ratusan ribu rupiah per bulan, bahkan ada yang di bawah UMR.

Tak hanya menerima gaji pokok dan berbagai fasilitas, anggota DPR periode 2024-2029 juga memperoleh tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan. Angka ini bukan untuk setahun, melainkan per bulan. Jika dikalikan 580 anggota DPR, totalnya mencapai Rp29 miliar setiap bulan hanya untuk tunjangan rumah. Dalam setahun, jumlah itu menggunung hingga Rp348 miliar.

Pertanyaannya, apakah benar semua anggota DPR tidak memiliki rumah sehingga butuh tunjangan sebesar itu?

Guru honorer sering harus mencari pekerjaan sampingan demi bisa bertahan hidup. Ada yang membuka les kecil-kecilan, ada yang berjualan, bahkan tak sedikit yang harus bekerja di luar dunia pendidikan. Sementara itu, beban mengajar tetap menumpuk, tanggung jawab mendidik tetap sama beratnya.

KBM anak-anak suku Batin Sembilan di Hutan Harapan, dalam kegiatan belajar mengajar di wilayah Kelompang, Kab.Batanghari, Jambi (Sumber: kompas.id)
KBM anak-anak suku Batin Sembilan di Hutan Harapan, dalam kegiatan belajar mengajar di wilayah Kelompang, Kab.Batanghari, Jambi (Sumber: kompas.id)

Andai Disalurkan untuk Guru Honorer

Mari kita membandingkan. Banyak guru honorer, baik di sekolah negeri maupun swasta, masih menerima gaji Rp300 ribu-Rp500 ribu per bulan. Angka ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Mereka adalah sosok yang setiap hari berhadapan dengan anak-anak bangsa, menanamkan nilai, ilmu, dan karakter, tetapi sering diperlakukan seperti pekerja sambilan.

Bayangkan jika satu bulan saja tunjangan rumah DPR Rp29 miliar dialihkan untuk guru honorer. Dengan keikhlasan mereka sedekahkan kepada guru honor. Dengan asumsi gaji honorer Rp500 ribu, maka 58 ribu guru honorer bisa menerima tambahan penghasilan satu bulan penuh. Jika dua bulan saja, lebih dari 100 ribu keluarga guru bisa tersenyum bahagia.

Di balik itu, berapa banyak doa baik akan dipanjatkan? Berapa banyak anak bisa makan lebih bergizi karena orang tuanya mendapatkan penghasilan layak?

Apakah negara ini tidak bisa sedikit saja mengalihkan sebagian anggaran tunjangan mewah untuk kesejahteraan para guru honorer? Bukankah amanat konstitusi jelas, bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa?

Bayang-Bayang Resign: Kisah Rekan Sejawat Honorer

Di balik papan tulis dan wajah ramah guru, ada kenyataan pahit yang jarang terlihat. Beberapa rekan sejawat saya, yang masih guru honorer, satu per satu harus mengucapkan salam perpisahan. Bukan karena mereka tak lagi mencintai dunia pendidikan, melainkan karena keadaan memaksa mereka mundur.

Guru honorer di sekolah negeri sering hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Bila suatu hari pemerintah menempatkan guru PNS atau PPPK pada mata pelajaran yang sama, maka guru honorer tersebut harus rela tersisih dan pergi. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar. Segala pengabdian, bertahun-tahun loyalitas, seolah tidak punya jaminan keberlanjutan.

Di sekolah swasta, ceritanya tak kalah getir. Gaji yang bersumber dari yayasan atau uang SPP murid membuat posisi guru honorer rapuh. Jika jumlah murid menurun, maka pendapatan pun dipotong. Ada yang akhirnya memilih keluar karena gaji yang diterima tak lagi mencukupi kebutuhan hidup, sementara beban kerja tetap sama seperti guru tetap.

Saya masih ingat wajah rekan saya yang terpaksa pamit karena anaknya mulai masuk SD dan biaya sekolah makin tinggi. Dengan nada getir, ia berkata, “Saya ingin tetap mengajar, tapi saya juga harus realistis. Gaji di sini bahkan tak cukup untuk ongkos anak berangkat sekolah.”

Setiap kali satu demi satu rekan sejawat harus resign, ruang guru kami terasa semakin sepi. Yang tersisa hanyalah pertanyaan yang mengendap di benak: sampai kapan guru honorer harus terus berada di posisi paling rapuh dalam sistem pendidikan kita?

Sama-sama Punya Peran, Harusnya Sama-sama Dihargai

Tidak ada yang menafikan pentingnya peran wakil rakyat. Tapi penghargaan terhadap guru, khususnya honorer, semestinya tidak setengah hati. Mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar utama pendidikan di banyak sekolah.

Jika saja tunjangan “Dewan” bisa dipangkas sedikit untuk dialihkan pada kesejahteraan guru honorer, betapa banyak masalah pendidikan yang bisa teratasi. Guru yang sejahtera akan lebih fokus mengajar, lebih ikhlas mendidik, dan pada akhirnya akan melahirkan generasi bangsa yang jauh lebih berkualitas.

Ironi: Sama-Sama Dewan

Di sinilah letak ironi itu. Sama-sama dewan, tapi perlakuan dan nasibnya bagai langit dan bumi.

  • Dewan di Senayan membentuk undang-undang, Dewan di sekolah membentuk manusia.
  • Dewan di gedung parlemen menerima gaji besar, Dewan di ruang kelas kadang menunggu honor yang bahkan tak cukup untuk ongkos transportasi.
  • Dewan di kursi empuk bisa tidur saat rapat, Dewan di papan tulis tetap berdiri meski tubuh lelah.

Pertanyaannya sederhana: jika bangsa ini bisa bertahan tanpa gedung DPR sehari, apakah ia bisa bertahan tanpa ruang kelas dan guru sehari? Entahlah... 

Kita bisa belajar dari negara tetangga. Di Thailand, misalnya, Hari Guru (Wai Khru) bukan hanya seremoni, tetapi sebuah momen sakral ketika murid sungguh-sungguh memberi penghormatan kepada gurunya dengan penuh hormat, doa, dan persembahan bunga. Di Jepang, guru dipandang sebagai sosok yang setara dengan orang tua kedua; bahkan ada ungkapan “Sensei wa oyabunari” (guru adalah orang tua). 

Tingginya penghormatan sosial ini membuat profesi guru tetap disegani dan berpengaruh, meskipun dunia terus bergerak ke arah digital.

Refleksi: Menata Ulang Martabat “Dewan”

Kata dewan semestinya disandang dengan martabat. Jika anggota DPR bisa disebut terhormat, maka guru pun layak mendapatkan kehormatan yang nyata, bukan sekadar kata manis dalam pidato.

Sama-sama “Dewan”, sama-sama punya peran. Bedanya hanya pada penghargaan yang diberikan negara. Selama guru honorer masih dianggap “pelengkap”, maka jurang itu akan terus melebar. Saatnya menyamakan pandangan: tidak ada peran yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua sama pentingnya untuk membangun bangsa ini. 

Artikel ini bukan bermaksud membenturkan, tetapi mengetuk nurani. Masyarakat berhak tahu bagaimana uang rakyat digunakan. Kita tentu ingin wakil rakyat hidup layak, tetapi apakah kelayakan itu harus diukur dengan Rp50 juta hanya untuk rumah per bulan?

Jika benar wakil rakyat ingin dikenang dan dihormati, mungkin bukan dengan memperlebar jurang kesejahteraan antara dirinya dan guru honorer, melainkan dengan keberpihakan nyata. Sumbangan satu atau dua bulan tunjangan rumah mereka saja sudah cukup membuat puluhan ribu keluarga tersenyum.

Karena pada akhirnya, sejarah tidak selalu mengingat siapa yang duduk di kursi Senayan. Sejarah lebih banyak mengingat guru yang mengajari kita membaca, menulis, dan berpikir.

Resign para guru honorer adalah alarm keras bagi bangsa ini. Kita sedang kehilangan pejuang pendidikan, satu per satu. Padahal, dari ruang kelaslah lahir calon dokter, insinyur, menteri, bahkan anggota DPR itu sendiri.

Ironinya, ruang kelas sering kosong karena gurunya menyerah sebelum diperjuangkan.

Maka, mari kita tata ulang prioritas. Jangan sampai bangsa ini terlalu sibuk membangun kesejahteraan dewan, tetapi membiarkan dewan guru runtuh perlahan. Karena sesungguhnya, martabat bangsa bukan hanya ada di kursi parlemen, tetapi juga di papan tulis yang setiap hari dihapus demi mencetak masa depan.

Salam Literasi. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun