Pernahkah Anda melihat seorang murid yang selalu hadir di kelas, duduk rapi di bangkunya, mencatat ketika guru menulis di papan, bahkan mengerjakan ulangan dengan cukup serius, tetapi sebenarnya ia tidak lagi belajar? Ia hadir secara fisik, tetapi hatinya jauh dari proses belajar. Inilah yang disebut dengan fenomena silent dropout: murid tidak benar-benar putus sekolah, tetapi secara batin ia telah meninggalkan ruang belajar. Ia ada sekaligus tiada- tampak di kelas, tetapi semangat dan jiwanya tak lagi bersama belajar.
Fenomena ini ibarat “bahaya sunyi” dalam dunia pendidikan. Ia tidak tercatat dalam statistik resmi karena anak tetap berstatus siswa aktif. Namun jika diamati lebih dekat, motivasi, rasa ingin tahu, dan semangat untuk berkembang perlahan menghilang.
Sayangnya, tema ini tidak banyak mendapat perhatian serius. Banyak orang menganggapnya hanya sebagai tanda-tanda wajar mengikuti perkembangan anak atau sekadar kebiasaan biasa di kelas.
Padahal, silent dropout sesungguhnya bagaikan fenomena gunung es: apa yang terlihat hanyalah puncaknya, anak hadir di kelas, menulis, dan mengerjakan tugas sedangkan sebagian besar masalah, seperti kehilangan minat belajar, kebosanan, dan disengagement, tersembunyi di bawah permukaan. Jadi bisa disebut antara ada dan tiada.
Jika dibiarkan, bagian “tersembunyi” ini bisa terus berkembang dan menimbulkan dampak serius: prestasi menurun, motivasi pudar, kemampuan berpikir kritis melemah, dan anak menjadi kurang siap menghadapi dunia nyata. Fenomena ini menuntut perhatian lebih dari guru, orang tua, dan sistem pendidikan secara keseluruhan.
Adegan di Kelas yang Sering Terjadi
Di sebuah kelas SMP negeri, guru menjelaskan tentang pecahan. Sebagian murid memperhatikan dengan serius, tetapi ada satu anak yang hanya menyalin rumus di papan tanpa benar-benar memahami. Sesekali ia membuka ponsel di bawah meja, sesekali menatap kosong ke luar jendela. Ketika ditanya apakah ia paham, ia hanya mengangguk singkat. Nilai ulangannya esok hari pun pas-pasan. Secara administratif, ia hadir dan tercatat belajar. Tetapi sesungguhnya, ia sudah “berhenti” di tengah jalan.
Seorang guru SMA lain pernah bercerita, ketika ia bertanya “Ada yang ingin ditanyakan?”, hampir seluruh kelas diam. Bukan karena semua sudah mengerti, melainkan karena mereka sudah tidak tertarik lagi untuk bertanya. Di sinilah gejala silent dropout terasa: murid hadir, tapi keterlibatan mentalnya sudah hilang.
Bahkan di SD, rutinitas sering terlihat jelas: murid diminta membuka buku, mengerjakan soal, lalu mengumpulkan. Tidak sedikit yang mengerjakan sekadar formalitas. Aktivitas belajar berubah menjadi ritual administratif belaka.
Sekolah yang Hanya Mengejar Angka