Sebuah kebetulan yang manis-setelah puluhan tahun tak pernah bertemu sejak lulus SMP, akhirnya dipertemukan kembali melalui pasar yang terus hidup dan berkembang.
Dari Pasar Jati Mulyo, sayur itu kembali berpindah tangan: ke pedagang besar, pengecer, bahkan pedagang keliling. Rantai distribusi ini membuat denyut ekonomi rakyat benar-benar terasa, hidup, dan nyata.
Kini, Pasar Jati Mulyo telah bertransformasi menjadi simpul strategis perekonomian warga. Aktivitasnya berlangsung hampir 24 jam, dengan ritme yang berbeda di tiap waktunya.
Skala Ekonomi: Potret Pasar di Lampung
Apa yang terjadi di Jati Mulyo hanyalah potongan dari peta besar pasar tradisional Lampung. Data tahun 2022 mencatat ada 118 pasar tradisional di provinsi ini dengan jumlah pedagang mencapai 41.806 orang. Itu artinya puluhan ribu keluarga menggantungkan hidupnya pada denyut pasar.
Pemerintah juga berupaya menghidupkan pasar ini melalui program revitalisasi. Antara tahun 2017-2023, sudah ada 96 pasar tradisional di Lampung yang diperbaiki dengan dana pusat maupun daerah. Salah satunya, Pasar Natar di Lampung Selatan, dibangun ulang di atas lahan seluas 6.462 m², mampu menampung hingga 799 pedagang, dengan anggaran lebih dari Rp46 miliar.
Namun, pertanyaannya: apakah pasar yang direvitalisasi itu selalu ramai?
Kehangatan yang Tak Terganti
Jawabannya tidak sesederhana iya atau tidak. Sebab pasar tradisional punya ruh kehangatan yang sering hilang ketika wajahnya diganti menjadi modern. Secara pribadi, saya merasakan hal ini. Beberapa pasar yang saya kenal, begitu dirombak menjadi bangunan rapi, justru malah sepi pengunjung.
Di Pasar Jati Mulyo, ruh itu masih hidup. Pedagang menyapa pembeli dengan akrab, tawar-menawar berlangsung penuh canda. “Pas, Bu, kalau kurang lagi saya pulang bawa karung kosong,” ujar seorang pedagang sambil tertawa. Pembeli pun tersenyum, akhirnya sepakat di harga tengah. Itu bukan sekadar transaksi, tapi relasi.