Setelah mereka pindah meski masih dalam kelurahan yang sama: kami jadi jarang berjumpa. Pertemuan di pasar ini seakan menjadi pengingat hangat bahwa jarak rumah tidak selalu menghalangi silaturahmi.
Percakapan sederhana pun tercipta: menanyakan kabar, membahas harga kebutuhan pokok, atau sekadar bercanda sambil menimbang timun dan cabai.
Dari obrolan singkat itu, lahir rasa kebersamaan yang jarang kita temui di pusat perbelanjaan modern. Pasar Way Kandis bukan hanya ruang jual-beli, tetapi juga ruang silaturahmi yang penuh kehangatan.
Dari Pasar Tempel ke Pasar Modern
Namun, pasar ini tidak selalu serapi sekarang. Dahulu, Pasar Way Kandis hanyalah pasar tempel sederhana. Lapak-lapak berdiri seadanya, berjejer di pinggir jalan. Suasananya sempit, becek, dan rawan tindak kejahatan. Tidak jarang terdengar kabar kehilangan sepeda motor atau barang belanjaan yang menghilang ketika pembeli lengah.
Seiring waktu, pemilik pasar mulai berbenah. Pasar ditata lebih baik, kios permanen dibangun, area parkir diperluas, dan fasilitas keamanan ditingkatkan.
Kini, pasar ini sudah jauh berbeda. Banyak kios yang berdiri rapi, jumlah pedagang semakin banyak, dan ekonomi pun berdenyut lebih hidup. Area parkir kini dijaga ketat, bahkan sudah ada CCTV di berbagai sudut pasar, membuat pengunjung merasa lebih aman dan nyaman.
Meski begitu, perkembangan ini juga membawa konsekuensi. Pasar yang semakin ramai kerap menimbulkan kemacetan di sekitar jalan masuk. Lalu lintas tersendat terutama di pagi hari ketika pembeli membludak. Inilah dinamika pasar tradisional: di satu sisi menjadi pusat ekonomi, di sisi lain memerlukan manajemen tata ruang yang lebih baik.
Belanja Mingguan: Dari Sayur Segar Hingga Bumbu Dapur