Pagi itu udara masih terasa segar. Jalanan mulai ramai oleh aktivitas warga yang berangkat kerja, hingga ibu-ibu yang tergesa membawa kantong belanja.
Dari rumah, saya biasanya melangkah bersama istri menuju Pasar Mandiri Way Kandis, atau yang lebih populer disebut pasar Way Kandis. Jaraknya hanya sekitar dua kilometer, cukup dekat untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Bagi saya, perjalanan ini bukan sekadar rutinitas belanja, tapi juga cara sederhana menjaga tubuh tetap bugar sekaligus menghirup suasana pagi yang jarang didapat ketika sibuk dengan aktivitas harian. Sembari menikmati keramaian pasar yang setiap hari selalu ramai, apalagi saat weekend.
Namun, hari ini kami tidak berjalan kaki. Ada alasan kecil tapi penting: setelah dari Way Kandis, kami akan melanjutkan perjalanan ke Pasar Jatimulyo, yang nanti akan saya ceritakan lebih lengkap dalam artikel selanjutnya. Perjalanan lebih jauh itu membuat kami memilih naik kendaraan agar tenaga tetap terjaga.
Pasar Keluarga yang Melegenda
Pasar Way Kandis sudah lama dikenal sebagai salah satu pasar keluarga yang melegenda di Bandar Lampung. Hampir semua kebutuhan rumah tangga bisa ditemukan di sini: mulai dari sayur-mayur segar, ikan, daging ayam, rempah-rempah, hingga kebutuhan dapur lainnya.
Tidak hanya itu, jajanan pasar dan kuliner khas juga berjejer rapi di sudut-sudutnya, menggoda siapa pun yang lewat. Bahkan, ada pula pedagang pakaian dan penjual emas, semua serba ada di pasar ini.
Bagi banyak keluarga, pasar ini adalah denyut kehidupan. Di sinilah ibu-ibu rumah tangga membandingkan harga cabai dan bawang, di sinilah para pedagang kecil menggantungkan harapan setiap hari, dan di sinilah interaksi sosial paling hangat terjadi.
Yang menarik, pasar juga menjadi ruang temu. Tidak jarang kami berpapasan dengan teman lama, saudara, atau tetangga yang sama-sama sedang berbelanja. Seperti pagi ini, kami bertemu dengan Pak Zainuri dan istrinya. Mereka dulu adalah tetangga dekat karena rumah kami bersebelahan.
Setelah mereka pindah meski masih dalam kelurahan yang sama: kami jadi jarang berjumpa. Pertemuan di pasar ini seakan menjadi pengingat hangat bahwa jarak rumah tidak selalu menghalangi silaturahmi.
Percakapan sederhana pun tercipta: menanyakan kabar, membahas harga kebutuhan pokok, atau sekadar bercanda sambil menimbang timun dan cabai.
Dari obrolan singkat itu, lahir rasa kebersamaan yang jarang kita temui di pusat perbelanjaan modern. Pasar Way Kandis bukan hanya ruang jual-beli, tetapi juga ruang silaturahmi yang penuh kehangatan.
Dari Pasar Tempel ke Pasar Modern
Namun, pasar ini tidak selalu serapi sekarang. Dahulu, Pasar Way Kandis hanyalah pasar tempel sederhana. Lapak-lapak berdiri seadanya, berjejer di pinggir jalan. Suasananya sempit, becek, dan rawan tindak kejahatan. Tidak jarang terdengar kabar kehilangan sepeda motor atau barang belanjaan yang menghilang ketika pembeli lengah.
Seiring waktu, pemilik pasar mulai berbenah. Pasar ditata lebih baik, kios permanen dibangun, area parkir diperluas, dan fasilitas keamanan ditingkatkan.
Kini, pasar ini sudah jauh berbeda. Banyak kios yang berdiri rapi, jumlah pedagang semakin banyak, dan ekonomi pun berdenyut lebih hidup. Area parkir kini dijaga ketat, bahkan sudah ada CCTV di berbagai sudut pasar, membuat pengunjung merasa lebih aman dan nyaman.
Meski begitu, perkembangan ini juga membawa konsekuensi. Pasar yang semakin ramai kerap menimbulkan kemacetan di sekitar jalan masuk. Lalu lintas tersendat terutama di pagi hari ketika pembeli membludak. Inilah dinamika pasar tradisional: di satu sisi menjadi pusat ekonomi, di sisi lain memerlukan manajemen tata ruang yang lebih baik.
Belanja Mingguan: Dari Sayur Segar Hingga Bumbu Dapur
Sesampainya di pasar, suasana langsung menyambut dengan riuh khas: orang berlalu-lalang, motor yang sesekali melintas, serta aroma perpaduan ikan segar dan rempah-rempah.
Namun uniknya, di Pasar Way Kandis jarang sekali pedagang yang berteriak menawarkan dagangannya. Sebagian besar hanya tersenyum, menyapa pembeli dengan ramah, atau sibuk menata barang dagangan. Suasana ini membuat pasar terasa lebih nyaman, tidak gaduh, dan justru memberi ruang bagi pembeli untuk berkeliling dengan leluasa.
Begitu masuk ke lorong-lorongnya, warna pasar langsung terasa berbeda. Ada deretan sayur-mayur segar dari kebun, aroma rempah yang tajam di sudut lain, ikan dan ayam segar yang baru saja diturunkan, hingga jajanan pasar yang menggoda di lorong berikutnya. Setiap lorong seakan punya dunia sendiri, lengkap dengan ciri khas dan atmosfernya.
Istri saya sudah menyiapkan daftar belanja: kangkung, bayam, cabai merah, bawang putih, ikan nila, ayam kampung, hingga buah segar untuk anak-anak. Sesekali, ia juga menambahkan jajanan khas pesanan anak-anak. Kantong belanja yang awalnya ringan, perlahan mulai penuh.
Meski begitu, ada rasa puas ketika semua kebutuhan terpenuhi. Saya bisa membayangkan seminggu ke depan keluarga akan menikmati hidangan rumahan dengan bahan-bahan segar yang baru saja kami dapatkan.
Pasar Sebagai Ruang Sosial dan Budaya
Di balik aktivitas belanja, Pasar Way Kandis adalah ruang sosial yang hidup. Orang-orang bertemu, saling menyapa, saling bertukar cerita. Ada pedagang yang sudah hafal pembelinya, bahkan bisa langsung menyiapkan pesanan tanpa ditanya lagi. Ada pelanggan setia bertahun-tahun, merasa lebih nyaman belanja di sini dibanding di supermarket modern.
Lebih jauh, pasar ini juga mencerminkan budaya lokal: nilai kekeluargaan, gotong royong, serta kesederhanaan. Pasar bukan hanya tentang harga cabai dan ikan, tapi juga tentang menjaga hubungan sosial agar tetap hangat. Ia menjadi semacam ruang publik tempat warga saling mengenal, saling peduli, dan saling mendukung.
Pasar Legendaris dengan Segala Keunikannya
Pasar Way Kandis sudah lama dikenal sebagai pasar keluarga. Bukan hanya warga sekitar, banyak pula orang dari wilayah lain yang memilih berbelanja di sini. Alasannya sederhana: harga yang bersaing, barang yang segar, dan tentu saja suasana yang akrab dan bersahabat.
Menelusuri lorong-lorongnya, hampir semua kebutuhan rumah tangga tersedia dengan lengkap:
- Sayur-mayur segar hasil panen dari desa sekitar, atau tempat lain.
- Ikan laut dan ikan sungai yang baru saja diturunkan dari kendaraan pick-up.
- Telur, daging ayam, sapi, dan bebek dengan pilihan yang beragam.
- Aneka bumbu dapur, rempah, dan sambal instan siap pakai.
- Tak ketinggalan jajanan pasar yang selalu bikin nostalgia: klepon, lemper, lupis, hingga serabi.
Namun, yang membuat pasar ini berbeda bukan hanya kelengkapan barang dagangannya, melainkan juga hubungan akrab antara pedagang dan pembeli. Hampir setiap pengunjung punya pedagang langganan.
Bahkan, tidak sedikit pedagang yang sudah berjualan lintas generasi, ada yang meneruskan usaha orang tuanya, ada pula yang datang dari luar daerah demi mencari rezeki di Way Kandis.
Uniknya, hubungan yang terjalin kini semakin erat dengan bantuan teknologi. Tak jarang kami memesan lebih dulu lewat WhatsApp: ikan segar beberapa kilo, daging ayam untuk kebutuhan mingguan, atau jajanan pasar untuk acara keluarga. Ketika datang ke pasar, barang sudah disiapkan.
Ada rasa percaya yang tumbuh, seolah tidak ada jarak antara pedagang dan pembeli. Inilah kekuatan pasar tradisional: keakraban yang tulus, yang sulit ditemukan di pusat perbelanjaan modern.
Pedagang dari Luar Daerah: Bukti Magnet Pasar
Salah satu hal menarik dari Pasar Way Kandis adalah para pedagangnya yang tidak hanya berasal dari sekitar pasar, tapi juga datang dari daerah lain. Ada yang dari lokal Bandar Lampung, ada pula yang jauh-jauh datang dari Pringsewu.
Mereka rela menempuh perjalanan pagi buta, membawa dagangan dengan mobil pick-up, motor bak, bahkan ada yang menumpang kendaraan umum. Semangat mereka adalah bukti bahwa pasar ini memiliki daya tarik ekonomi yang kuat.
Misalnya, saya sering bertemu dengan pedagang ikan yang datang dari Teluk Betung, Bandar Lampung. Mereka membawa hasil tangkapan laut segar yang baru saja bersandar di dermaga. Karena itulah, ikan di pasar ini selalu laris manis.
Ada juga penjual buah dari Pringsewu. Setiap minggu, ia membawa salak, pisang, dan durian ketika musimnya tiba. Ceritanya, sebagian besar pembeli sudah menunggu kedatangannya, karena tahu kualitas buah yang dibawanya memang tidak main-main.
Mbak Lily, Penjual Kerupuk Langganan
Dari sekian banyak pedagang, ada satu yang selalu jadi langganan keluarga kami: Mbak Lily, penjual kerupuk dari Pringsewu. Meja jualannya sederhana, hanya ditata dengan beberapa kantong besar berisi kerupuk aneka jenis: kerupuk putih besar, kerupuk bawang tipis, hingga kerupuk ikan khas Lampung dan Palembang,
Setiap kali membeli, Mbak Lily selalu menyapa dengan ramah, “Mau yang biasa atau yang gurih manis, Bu?” Dengan logat khas medhok Ngapaknya, ia menyapa ramah sambil tersenyum hangat.
Momen sederhana itu membuat pengalaman belanja di pasar terasa lebih personal, seakan bukan hanya sekadar transaksi, melainkan juga pertemuan yang menghidupkan kembali kedekatan antarwarga.
Mbak Lily sudah berjualan di Pasar Way Kandis lebih dari sepuluh tahun. Awalnya, ia hanya membawa beberapa kilo kerupuk, tapi kini pelanggan tetapnya semakin banyak. Bahkan, ada yang sengaja datang jauh-jauh hanya untuk membeli kerupuk buatannya.
Bagi kami, membeli kerupuk di lapak Mbak Lily sudah jadi semacam ritual wajib. Kalau lupa beli, rasanya ada yang kurang di meja makan rumah.
Belanja Sekaligus Bersilaturahmi
Pasar Way Kandis tidak hanya tentang transaksi jual beli. Lebih dari itu, ia adalah ruang untuk bersilaturahmi. Di sini, saya bisa bertemu dengan kawan lama, saling bertukar kabar, bahkan sesekali berbincang tentang berita terbaru di kampung atau isu nasional.
Bagi istri saya, pasar juga jadi ruang bertukar resep. Ia sering ngobrol dengan pedagang sayur tentang cara mengolah bahan tertentu agar lebih enak. Kadang, dari obrolan ringan itu, muncul ide menu baru untuk keluarga di rumah.
Setiap kantong belanja yang kami bawa bukan sekadar berisi kebutuhan dapur, tapi juga cerita-cerita kecil yang memperkaya hidup.
Pulang dengan Kantong Penuh, Hati Pun Lega
Setelah puas berbelanja kini saatnya pulang. Namun kami tidak langsung pulang ke rumah, karena melanjutkan ke pasar Jati Mulyo yang lokasinya tidak jauh dari pasar Way Kandis ini.
Perjalanan pulang selalu terasa berbeda. Kantong belanja penuh di tangan, tubuh mungkin sedikit lelah, tapi hati terasa lega. Ada kepuasan tersendiri bisa membawa pulang rezeki berupa bahan makanan untuk keluarga.
Ada rasa syukur ketika menyadari bahwa dari aktivitas sederhana ini, banyak hal positif bisa didapat: kesehatan dari berjalan kaki, kebahagiaan dari interaksi sosial, dan keberkahan dari belanja di pasar tradisional.
Pasar Way Kandis memang lebih dari sekadar tempat belanja. Ia adalah ruang yang menyatukan sejarah, kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya dalam satu irama kehidupan. Dari pasar tempel yang dulu rawan pencurian hingga kini menjadi pasar modern yang tertata, Way Kandis tetap menyimpan denyut nadi kehidupan warga.
Dan hari ini, meski kami memilih tidak berjalan kaki karena ada rencana melanjutkan perjalanan ke Pasar Jatimulyo, pengalaman di Pasar Way Kandis tetap memberi jejak tersendiri. Setiap kunjungan selalu menyimpan cerita baru, tentang harga sayur, tentang tawa pedagang, tentang temu kangen dengan teman lama.
Semua itu menjadikan pasar ini bukan hanya ruang ekonomi, melainkan ruang kehidupan yang sesungguhnya. Semoga Bermanfaat…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI