Dari lantai enam Hotel Royal Palm Jakarta, mata saya disuguhi pemandangan yang kaya cerita. Di satu sisi, deretan gedung tinggi menjulang di kejauhan, melambangkan kemajuan dan modernitas ibu kota. Di sisi lain, atap-atap rumah dan ruko berwarna-warni berjejer rapat, menggambarkan denyut kehidupan lokal yang tak pernah berhenti.
Di bawah sana, jalan yang rindang dengan deretan pohon palem tampak rapi membelah kawasan. Saluran air yang membentang di tengah jalan memantulkan sinar matahari pagi, memberi kesan segar di tengah padatnya suasana kota.Â
Mobil-mobil melaju santai, sementara beberapa pejalan kaki terlihat menjalani rutinitas harian mereka. Kontras antara kesibukan kecil di bawah dan kesibukan besar di pusat bisnis yang menjulang di horizon menciptakan harmoni unik, inilah potret nyata Jakarta yang sesungguhnya.
Dari kejauhan, mikrotrans biru melintas di antara rindangnya pepohonan, sementara di sisi jalan, deretan pot bunga dan tanaman hias tampak berjajar rapi. Di sanalah para penjual tanaman bekerja, menghadirkan sentuhan hijau di tengah dominasi beton dan aspal.Â
Mereka bukan hanya pedagang, tetapi penjaga keseimbangan kota, mempercantik jalan, membantu membersihkan udara, sekaligus menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan.
Namun, pemandangan ini juga menyimpan paradoks yang menarik. Tanaman-tanaman segar itu tumbuh di tepi jalan yang penuh debu dan polusi, seperti benteng kecil yang melawan arus urbanisasi. Diapit gedung tinggi dan ruang yang kian sempit, mereka tetap bertahan, membuktikan bahwa kehidupan selalu mencari celah untuk tumbuh, bahkan di tengah hiruk pikuk dan keterbatasan.Â
Nah, saya melihat semua ini dari atas, tepatnya dari lantai enam Hotel Royal Palm Jakarta. Dari ketinggian ini, setiap detail terasa lebih jelas: bagaimana ruko-ruko berjejer rapat, jalan membelah kawasan dengan deretan pohon palem, hingga penjual tanaman yang tampak kecil di bawah sana, namun punya peran besar bagi kehidupan kota.Â
Perspektif ini mengajarkan bahwa keindahan dan perjuangan seringkali tersembunyi di sudut-sudut yang tidak kita perhatikan saat berada di permukaan.
Sehari sebelumnya, saya mendokumentasikan perjalanan di jalan kota yang membawa saya pada pemandangan lain. Saya lupa mencatat nama jalannya. Sebuah mikrotrans biru yang melaju, diapit oleh pepohonan rindang. Namun di sela-sela itu, saya melihat deretan tanaman hias yang dijajakan penjual di pinggir jalan.Â
Mereka bukan sekadar pedagang. Kehadiran mereka memberi double manfaat bagi kota: mempercantik jalan dengan warna hijau yang menyegarkan mata, membantu membersihkan udara, sekaligus menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan.
Namun, di balik semua itu, ada kontras yang tak bisa diabaikan. Tanaman hijau yang mereka jual berdiri di pinggir jalan berdebu, diapit deru kendaraan yang menebarkan polusi, ironis, karena hijau ini justru menjadi perisai bagi udara yang diracuni setiap hari.
Lebih paradoks lagi, mereka menjual kehidupan, pot-pot berisi daun segar, bunga warna-warni di tengah kota yang sibuk menambah beton dan aspal. Tanaman-tanaman itu seakan berjuang melawan arus, menghadirkan napas segar di ruang yang kian sesak.
Inilah anomali indah Jakarta: di antara bising klakson dan bayang-bayang gedung pencakar langit, ada sudut kecil di tepi jalan yang dengan sederhana, namun gigih, mengingatkan kita bahwa kehidupan selalu mencari cara untuk tumbuh.
Tak berhenti di situ, saya pun menemukan sudut lain Jakarta yang sangat kontras namu  memikat: sebuah area kecil penjual tanaman, terhimpit di antara jalan tanah dan gedung-gedung tinggi yang menjulang di belakangnya. Lahan mereka terbatas, namun kreativitasnya tak terbendung. Setiap pot bunga, bonsai, dan tanaman hias adalah bukti bahwa kehijauan bisa hidup berdampingan dengan modernitas.
Di tengah riuhnya kendaraan dan padatnya gedung beton, para penjual ini adalah pengingat bahwa sebuah kota bukan hanya kumpulan bangunan, melainkan juga tempat di mana kehidupan sederhana dan kadang rapuh tetap tumbuh.Â
Untuk melihat wajah sejati Jakarta, kita tak perlu selalu menatap ke puncak gedung tertinggi. Cukup menoleh ke tepi jalan, dan kita akan menemukan denyut kehidupan yang alami, hijau, dan penuh harapan.Â
Melihat kota dari ketinggian memberi perspektif berbeda. Saya bisa menyadari bahwa Jakarta bukan hanya tentang kemacetan atau gedung pencakar langit, tetapi juga tentang komunitas, warna, dan cerita yang hidup di setiap sudutnya.
Jakarta dari atas tampak seperti kota yang tak pernah tidur, hiruk pikuk kendaraan, gedung yang tak henti bertumbuh, dan jalan-jalan yang terus berdenyut. Tapi dari dekat, di sudut-sudut yang mungkin tak pernah kita perhatikan, ada kehidupan sederhana yang memegang peran besar: penjual tanaman di pinggir jalan, menjaga hijau tetap hidup di tengah lautan beton.
Mereka adalah kontras yang indah sekaligus paradoks yang nyata, menjual napas segar di udara yang tercemar, menawarkan ketenangan di tengah bising klakson, menumbuhkan kehidupan di ruang yang nyaris habis.
Bagi saya, momen ini mengajarkan bahwa di balik wajah modern sebuah kota, selalu ada denyut kehidupan sederhana yang menjadi jantungnya.
Dan di sanalah, saya sadar... Jakarta bukan hanya tentang seberapa tinggi kita membangun gedung, tapi juga seberapa kuat kita menjaga kehidupan yang tumbuh di bawahnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI