Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jakarta dari Atas: Antara Beton, Jalan, dan Kehidupan yang Tetap Tumbuh

9 Agustus 2025   06:25 Diperbarui: 17 Agustus 2025   20:13 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari sebelumnya, saya mendokumentasikan perjalanan di jalan kota yang membawa saya pada pemandangan lain. Saya lupa mencatat nama jalannya. Sebuah mikrotrans biru yang melaju, diapit oleh pepohonan rindang. Namun di sela-sela itu, saya melihat deretan tanaman hias yang dijajakan penjual di pinggir jalan. 

Mereka bukan sekadar pedagang. Kehadiran mereka memberi double manfaat bagi kota: mempercantik jalan dengan warna hijau yang menyegarkan mata, membantu membersihkan udara, sekaligus menggerakkan roda ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan.

Anomali tanaman hias yang memberikan double manfaat: terhimpit gedung pencakar langit namun hidup menyejukkan udara. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 
Anomali tanaman hias yang memberikan double manfaat: terhimpit gedung pencakar langit namun hidup menyejukkan udara. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Namun, di balik semua itu, ada kontras yang tak bisa diabaikan. Tanaman hijau yang mereka jual berdiri di pinggir jalan berdebu, diapit deru kendaraan yang menebarkan polusi, ironis, karena hijau ini justru menjadi perisai bagi udara yang diracuni setiap hari.

Lebih paradoks lagi, mereka menjual kehidupan, pot-pot berisi daun segar, bunga warna-warni di tengah kota yang sibuk menambah beton dan aspal. Tanaman-tanaman itu seakan berjuang melawan arus, menghadirkan napas segar di ruang yang kian sesak.

Inilah anomali indah Jakarta: di antara bising klakson dan bayang-bayang gedung pencakar langit, ada sudut kecil di tepi jalan yang dengan sederhana, namun gigih, mengingatkan kita bahwa kehidupan selalu mencari cara untuk tumbuh.

Deretan tanaman hias yang sangat penting untuk mempercantik dan menghidupkan roda ekonomi. (Sumber:Dok.Pribadi/Tupari) 
Deretan tanaman hias yang sangat penting untuk mempercantik dan menghidupkan roda ekonomi. (Sumber:Dok.Pribadi/Tupari) 

Tak berhenti di situ, saya pun menemukan sudut lain Jakarta yang sangat kontras namu  memikat: sebuah area kecil penjual tanaman, terhimpit di antara jalan tanah dan gedung-gedung tinggi yang menjulang di belakangnya. Lahan mereka terbatas, namun kreativitasnya tak terbendung. Setiap pot bunga, bonsai, dan tanaman hias adalah bukti bahwa kehijauan bisa hidup berdampingan dengan modernitas.

Ujung jalan penjual tanaman bunga di pinggir jalan. (Sumber:Dok.Pribadi/Tupari) 
Ujung jalan penjual tanaman bunga di pinggir jalan. (Sumber:Dok.Pribadi/Tupari) 

Di tengah riuhnya kendaraan dan padatnya gedung beton, para penjual ini adalah pengingat bahwa sebuah kota bukan hanya kumpulan bangunan, melainkan juga tempat di mana kehidupan sederhana dan kadang rapuh tetap tumbuh. 

Untuk melihat wajah sejati Jakarta, kita tak perlu selalu menatap ke puncak gedung tertinggi. Cukup menoleh ke tepi jalan, dan kita akan menemukan denyut kehidupan yang alami, hijau, dan penuh harapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun