Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Runtuhnya Budaya Karena Bahasa yang Dilupakan

6 Agustus 2025   17:06 Diperbarui: 6 Agustus 2025   19:46 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Saat kita berhenti mengajarkan bahasa, kita sedang memutus akar sejarah kita sendiri. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari)

"Saya merasa miris ketika melihat anak-anak kecil tumbuh tanpa mengenal bahasa ibu mereka. Di kampung yang dulunya penuh dengan suara khas bahasa daerah, kini yang terdengar hanyalah bahasa Indonesia baku."

Bukan berarti bahasa Indonesia salah.  Ini adalah bahasa pemersatu bangsa. Namun ada bahaya yang mengintai: punahnya bahasa ibu yang menjadi identitas dan akar budaya kita.

Bahasa yang Hilang, Budaya yang Tergerus

Bahasa bukan hanya kumpulan kata. Ia adalah warisan yang menyimpan nilai, cara berpikir, bahkan identitas suatu bangsa. Menurut UNESCO, setiap dua minggu sekali ada satu bahasa di dunia yang punah. Di Indonesia sendiri, dari sekitar 700 bahasa daerah, puluhan di antaranya kini berstatus kritis, hanya digunakan oleh segelintir orang tua di desa-desa terpencil.

Yang ironis, di banyak kampung, orang tua masih terbata-bata menggunakan bahasa Indonesia. Namun karena terpapar modernisasi, mereka merasa “wah” jika anaknya mahir berbahasa Indonesia sejak kecil. Tanpa sadar, mereka lebih bangga ketika anak-anaknya berbahasa Indonesia, dan menganggap bahasa daerah tidak penting lagi.

Saya pernah menyaksikan sendiri fenomena ini. Saat pulang ke kampung halaman, saya melihat pemandangan yang menyayat hati: seorang nenek berusia 70 tahun mencoba berbicara dengan cucunya dalam bahasa daerah. Namun sang cucu hanya menjawab dengan bahasa Indonesia. Nenek itu tersenyum kecil, tapi sorot matanya tampak sayu. Seolah ia sadar, bahasa yang menjadi napas hidupnya kini tinggal menunggu waktu untuk dilupakan.

Jika bahasa hilang, maka lagu-lagu daerah, cerita rakyat, pepatah bijak, hingga doa adat yang diwariskan turun-temurun juga ikut menghilang. Kita bukan hanya kehilangan kata-kata, tapi juga kehilangan sejarah, filosofi, dan cara pandang hidup yang membentuk jati diri bangsa.

Kisah Nyata: Bahasa Ibu Bukan Penghalang

Saya punya seorang kakak yang dulu meminta saya memberikan nama untuk anaknya. Tentu saya sangat senang dimintai kehormatan itu. Namun ada satu syarat yang saya berikan: anaknya tidak boleh menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Bukan karena saya anti bahasa Indonesia, tetapi demi mempertahankan bahasa ibu itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun