Rahasia Bahagia Pak Guru Bambang Menikmati Masa Pensiun, dan Pesan yang Disematkan
Pagi itu sekolah terasa hening. Tak ada upacara, tak ada seremoni besar seperti beberapa waktu lalu saat perpisahan resmi diadakan. Hanya ada Pak Guru Bambang, Guru PJOK yang berjalan perlahan dari satu meja ke meja lain, menyalami rekan-rekan sejawatnya, satu per satu. Setelah puluhan tahun mengabdi, hari ini beliau benar-benar pamit.
Saya memperhatikannya dari jauh, mencoba menahan rasa haru. Hingga akhirnya, Pak Bambang menghampiri saya. Dengan senyum hangat yang khas, beliau menatap para guru lain sambil berkata,
"Tolong jaga anak ini... seperti kalian menjaga saya."
Padahal waktu itu juga banyak guru-guru di bawah (junior) saya, yang mestinya saya lah yang menjaga mereka. Tapi entah lah, saya pun tidak mencari tahu mengapa. Saya maklum, kami sudah 21 tahun bersama menjadi rekan sejawat sebagai guru.
Kalimat itu sederhana, tapi bagi saya, rasanya seperti pelukan seorang ayah. Entah mengapa beliau mengucapkannya, mungkin karena kedekatan kami, mungkin karena beliau sudah menganggap saya seperti anaknya sendiri. Dan di momen itu, saya tahu: kepergiannya bukan sekadar perpisahan, tapi sebuah amanah yang diwariskan.
Warisan yang Paling Berharga
Tak berhenti di situ, Pak Bambang menepuk bahu saya pelan, lalu menunjuk ke arah mejanya.
"Meja ini... sekarang milikmu."
Saya terdiam. Padahal saya sudah memiliki meja kerja sendiri. Tapi demi menghormati beliau, saya menerimanya. Dengan tangan saya sendiri, saya memindahkan semua barang ke meja itu. Bukan karena kayunya lebih kokoh atau letaknya lebih nyaman, tapi karena itu adalah salah satu penghargaan tertinggi yang pernah saya terima.