Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Rahasia Bahagia Pak Guru Bambang Menikmati Masa Pensiun, dan Pesan yang Disematkan

31 Juli 2025   22:21 Diperbarui: 1 Agustus 2025   11:51 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagi tawa dan cerita terakhir bersama Pak Bambang, sosok guru yang akan selalu kami rindukan.  (Dok. Pribadi/Tupari)

Rahasia Bahagia Pak Guru Bambang Menikmati Masa Pensiun, dan Pesan yang Disematkan

Pagi itu sekolah terasa hening. Tak ada upacara, tak ada seremoni besar seperti beberapa waktu lalu saat perpisahan resmi diadakan. Hanya ada Pak Guru Bambang, Guru PJOK yang berjalan perlahan dari satu meja ke meja lain, menyalami rekan-rekan sejawatnya, satu per satu. Setelah puluhan tahun mengabdi, hari ini beliau benar-benar pamit.

Saya memperhatikannya dari jauh, mencoba menahan rasa haru. Hingga akhirnya, Pak Bambang menghampiri saya. Dengan senyum hangat yang khas, beliau menatap para guru lain sambil berkata,

"Tolong jaga anak ini... seperti kalian menjaga saya."

Padahal waktu itu juga banyak guru-guru di bawah (junior) saya, yang mestinya saya lah yang menjaga mereka. Tapi entah lah, saya pun tidak mencari tahu mengapa. Saya maklum, kami sudah 21 tahun bersama menjadi rekan sejawat sebagai guru.

Kalimat itu sederhana, tapi bagi saya, rasanya seperti pelukan seorang ayah. Entah mengapa beliau mengucapkannya, mungkin karena kedekatan kami, mungkin karena beliau sudah menganggap saya seperti anaknya sendiri. Dan di momen itu, saya tahu: kepergiannya bukan sekadar perpisahan, tapi sebuah amanah yang diwariskan.

Warisan yang Paling Berharga

Tak berhenti di situ, Pak Bambang menepuk bahu saya pelan, lalu menunjuk ke arah mejanya.

"Meja ini... sekarang milikmu."

Saya terdiam. Padahal saya sudah memiliki meja kerja sendiri. Tapi demi menghormati beliau, saya menerimanya. Dengan tangan saya sendiri, saya memindahkan semua barang ke meja itu. Bukan karena kayunya lebih kokoh atau letaknya lebih nyaman, tapi karena itu adalah salah satu penghargaan tertinggi yang pernah saya terima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun