Meja itu kini bukan sekadar tempat bekerja. Setiap goresan di permukaannya, setiap laci yang pernah beliau buka, seolah membawa cerita tentang dedikasi dan kesabaran. Dan kini, cerita itu dilanjutkan lewat saya.
Kenangan yang Tak Pernah Hilang
Saya masih ingat, beberapa tahun lalu, ketika kami mendampingi siswa studi kampus. Saat itu, di ruang istirahat, kami menonton televisi yang menayangkan program tentang kehidupan orang pinggiran. Saya, yang tidak tega menyaksikan tayangan tersebut, meminta Pak Bambang mengganti saluran.
Beliau tertawa kecil dan menuruti permintaan saya. Yang mengejutkan, bertahun-tahun kemudian, beliau masih mengingat kejadian sederhana itu dan menceritakannya kepada teman-teman guru yang lain. Bagi saya, itulah bukti betapa tulus dan hangatnya hati seorang Pak Bambang, selalu mengingat hal-hal kecil yang berarti bagi orang lain.
Satu Persatu Guru Senior Pergi
Dalam beberapa tahun terakhir, saya telah menyaksikan satu demi satu rekan guru senior berpamitan. Namun saya sadar, dunia pendidikan memang berjalan seperti itu: datang, mengabdi, lalu selesai. Kelak saya pun akan mengalaminya, tak ada yang abadi. Tapi setiap kali seseorang seperti Pak Bambang pergi, rasanya ada ruang yang tidak tergantikan.
Beliau bukan hanya guru. Ia adalah penghubung antargenerasi, pembimbing bagi guru muda, penasehat yang selalu tepat waktu, dan sahabat yang tidak pernah ragu menepuk bahu ketika kami merasa lelah. Kini, ruang guru terasa berbeda tanpa tawa rendah dan nasihat bijaknya.
Teladan di Tengah Hiruk Pikuk Dunia Pendidikan
Bagi saya, Pak Bambang menjadi cerminan guru yang sesungguhnya: berdedikasi tanpa pamrih di tengah hiruk pikuk isu tentang profesi guru, aturan yang semakin rumit, dan beratnya tuntutan zaman.
Di saat banyak guru baru merasa was-was menghadapi ketidakpastian regulasi, beban administrasi Dapodik yang tak ada habisnya, hingga proses CPNS dan PPPK yang melelahkan, Pak Bambang yang sudah berstatus PNS menunjukkan ketenangannya.