Menyelami Perasaan: Dulu Sebagai Panitia SPMB, Kini Sebagai Orang Tua - Anomali yang Mengajarkan Empati
Pagi ini, saya datang ke sekolah dengan map berisi dokumen lengkap. Ini adalah hari penting-hari ketika saya mendaftarkan anak bungsu saya masuk SMP negeri.Â
Dari tiga anak saya, anak bungsu ini adalah yang paling antusias ingin bersekolah di sekolah negeri. Kami memang memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk memilih sekolah sesuai minat dan kebutuhan mereka-tentu setelah kami diskusikan secara matang, melihat potensi, lokasi, lingkungan belajar, dan kesiapan psikologis.
Keputusan anak bungsu kami sangat bulat. Ia ingin masuk sekolah negeri, dan kami sepakat untuk mendukungnya sepenuh hati. Maka, pendaftaran ini bukan sekadar urusan administratif. Ini adalah bagian dari dukungan kami sebagai orang tua atas tekad dan pilihan anak kami.
Di meja pendaftaran, saya mengisi formulir, menandatangani surat pernyataan di atas materai, menyusun dokumen-dokumen dengan rapi, dan memastikan tidak ada satu pun yang terlewat. Semua itu saya lakukan sebelum mendaftar secara online.
Saat saya mengisi formulir pendaftaran dan melengkapi berkas-berkas, saya tak menyangka akan merasa begitu... tidak menentu. Ada rasa khawatir yang menghantui:
"Bagaimana kalau berkas saya kurang?"
"Bagaimana kalau nanti anak saya tidak diterima?"
"Apakah saya sudah mengisi data dengan benar?"
Padahal saya sudah membaca juknisnya, saya tahu alurnya, dan saya tahu kriterianya. Tapi tetap saja, sebagai orang tua, perasaan cemas dan takut itu muncul begitu saja. Saya jadi mengerti-bahwa tidak semua hal bisa dirasionalisasi, apalagi ketika yang dipertaruhkan adalah harapan dan masa depan anak.
Setelah selesai mengisi biodata dan menscan dokumen, saya melalukan pendaftaran online. Ya, ini memang paradoks: sudah mendaftar online, tapi tetap harus datang langsung ke sekolah. Namun justru di sinilah letak pentingnya proses verifikasi manual-memastikan keabsahan data, mencocokkan dokumen, dan meninjau kembali hal-hal yang mungkin terlewat oleh sistem.Â
Dari meja pendaftaran, saya diarahkan ke ruang tunggu sebelum menuju ke meja pengecekan berkas. Saya duduk bersama si bungsu, menanti giliran sambil memperhatikan suasana sekitar.Â
Hiruk-pikuk orang tua terdengar di sana-sini, ada yang sibuk mengisi data online lewat gawai mereka, ada juga yang membuka laptop yang dibawa sendiri dari rumah, berusaha menyelesaikan entri data sebelum maju ke meja verifikasi.
Dari sudut tempat duduk saya, saya bisa melihat setiap riak wajah orang tua: ada yang tegang, ada yang berbisik-bisik dengan pasangannya, ada pula yang tampak kebingungan. Suasana itu seperti mencerminkan satu hal-setiap orang tua sedang membawa harapan dan kegelisahan masing-masing.
Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri saya.
Wajahnya panik, nadanya terburu-buru.
"Pak, ini link pendaftarannya di mana ya? Kalau scan barcode itu gimana caranya?"
Saya menatap matanya dan tahu: ini bukan sekadar kebingungan teknis, ini adalah kegelisahan seorang ibu yang takut salah langkah dalam mendaftarkan anaknya. Saya mencoba menjelaskan pelan-pelan. Agak rumit memang, karena penjelasan digital kadang tidak cukup hanya dengan kata-kata. Maka saya ambil ponsel saya, buka laman pendaftaran, dan menunjukkan langsung langkah-langkahnya.
Baru setelah itu ibu tersebut mengangguk-angguk lega.
Padahal, semua informasi sebenarnya sudah tersedia-tercetak jelas di banner besar di dinding depan. Tapi dalam situasi panik, kadang yang terlihat pun bisa menjadi tak terlihat. Fokus mengabur, rasa takut menutupi logika, dan semua terasa membingungkan.
Momen kecil itu membuat saya kembali merenung.
Mungkin benar, kita terlalu sering menyalahkan ketidaktahuan, padahal yang terjadi adalah ketakutan dan tekanan batin yang terlalu besar. Bagi sebagian orang tua, istilah "scan barcode", "unggah dokumen", "akses link" adalah dunia baru yang asing. Dan dalam suasana yang penuh tekanan, siapa pun bisa panik-bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya sederhana. Mungkin tangan mereka gemetar saat menyerahkan map. Bahkan, mereka tak tahu harus bertanya pada siapa ketika berkasnya dianggap belum lengkap.
Maka semakin saya yakin, bahwa proses pendaftaran sekolah tak bisa hanya dibangun di atas sistem yang rapi-ia juga harus ditopang oleh keramahan hati dan empati, oleh kehadiran orang-orang yang mau memandu, bukan hanya memeriksa.
Pendidikan bukan hanya milik mereka yang paham sistem. Tapi milik semua-termasuk mereka yang hari ini masih belajar memahami, sambil berjuang mendaftarkan anak-anak mereka masuk sekolah dengan penuh cinta dan harapan.
Tak berapa lama menunggu, nomor urut antrian kami pun dipanggil. Kami dipersilakan masuk dan duduk. Di meja verifikasi, kami disambut dengan hangat dan penuh keramahan oleh panitia yang bertugas. Satu per satu dokumen pendaftaran kami diperiksa dengan teliti.
Saya menyimak proses itu dengan diam-diam mengingat-ini persis seperti yang saya lakukan dulu, saat duduk di sisi meja yang sama, sebagai panitia verifikasi data.Â
Saat itu saya yang memeriksa berkas milik orang tua lain. Kini, berkas yang diperiksa adalah milik saya sendiri, dan saya merasakan bagaimana setiap gerakan, setiap komentar, bisa berdampak langsung pada perasaan orang tua di hadapan meja itu.
Pengalaman yang tampak sederhana ini ternyata menyimpan kontras yang sangat dalam-antara mereka yang memeriksa dan mereka yang diperiksa.
Saat map saya sampai di tangan panitia verifikasi, salah satu dari mereka berkata,
"Pak, ini surat pernyataannya belum ada ya?"
Saya tersentak. Seketika saya merasa cemas, bingung, dan sedikit tidak percaya diri. Padahal saya ingat betul telah menandatangani surat itu di atas materai. Saya lipat dengan hati-hati, saya masukkan ke dalam map bersama dokumen lainnya.
"Coba diperiksa lagi, Bu," saya katakan pelan, menahan panik yang mulai merambat naik.
Beberapa saat kemudian, panitia tersenyum dan mengangkat kertas kecil,
"Oh iya, ternyata terselip, Pak. Ini dia. Maaf ya pak"
Saya menghela napas lega. Sebuah momen sederhana, tapi menyisakan pelajaran yang dalam.
Di tengah proses itu, saya jadi teringat kembali pada masa ketika saya pernah duduk di seberang meja ini-bukan sebagai orang tua, tapi sebagai panitia SPMB. Tugas saya waktu itu adalah memverifikasi berkas para pendaftar. Saat menemukan data yang kurang atau tidak sesuai, saya akan menghubungi orang tua. Semua saya jalankan sebagai prosedur, entah perasaan apa yang dirasakan oleh orang tua saya tidak tahu.
Namun kini, ketika berada di sisi yang berbeda, anomali itu terjadi. Saya benar-benar merasakan tekanan psikologisnya. Rasa khawatir, takut ada yang kurang, takut anak tak diterima, bahkan malu kalau sampai dianggap tidak teliti-semuanya nyata. Padahal saya cukup paham sistemnya. Saya pernah berada di balik layar.
Lalu bagaimana dengan para orang tua lain yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai? Yang mungkin belum familiar dengan sistem daring, atau bahkan bingung dengan istilah-istilah teknis?
Saya membayangkan kepanikan mereka saat ada berkas yang kurang. Mungkin ada rasa takut, mungkin pula ada perasaan minder. Dan justru di sinilah letak pentingnya sikap ramah, sabar, dan empatik dari para panitia.
Keramahan mereka menjadi semacam menara gading kelegaan hati bagi para orang tua. Saat suara panitia lembut, senyumnya hadir, dan ia mau memeriksa ulang tanpa menghakimi, di situlah kepercayaan tumbuh. Kita merasa tidak sedang diuji, tapi sedang dibantu. Dan itu penting-teramat penting.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal siswa yang masuk sekolah, tapi juga soal ekosistem dukungan yang mengiringinya: keluarga, panitia, guru, dan masyarakat.
Bagi saya pribadi, hari ini bukan sekadar hari pendaftaran. Tapi hari ketika saya kembali diingatkan bahwa di balik setiap map berisi dokumen pendaftaran, ada harapan, perjuangan, dan kecemasan yang tak selalu terlihat.
Tidak berapa lama kemudian, seorang panitia verifikasi pendaftaran menghampiri saya. Ia menyodorkan selembar kertas sambil berkata,
"Pak, ini bukti pendaftarannya. Pendaftaran sudah selesai, tinggal dipantau saja pengumumannya."
Saya mengangguk, menerima kertas itu dengan rasa lega.
"Terima kasih, Pak," ucap saya tulus, lalu bergegas meninggalkan tempat pendaftaran bersama anak dan harapan yang menyertainya.
Hari ini, saya tak hanya selesai mendaftarkan anak.
Saya juga pulang dengan pelajaran berharga: bahwa empati bukan sekadar tahu rasanya-tapi pernah benar-benar ada di sana, mengalaminya sendiri.
Dan di antara berkas-berkas itu, semoga selalu ada ruang bagi empati untuk masa depan negeri ini semakin baik!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI