Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyelami Perasaan: Dulu Sebagai Panitia SPMB, Kini Sebagai Orang Tua - Anomali yang Mengajarkan Empati

7 Juli 2025   13:06 Diperbarui: 7 Juli 2025   13:06 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panitia dengan Ramah Memeriksa Dokumen dan Mengarahkan ke Tahap Selanjutnya. Sumber: Dok. Pribadi

Keramahan mereka menjadi semacam menara gading kelegaan hati bagi para orang tua. Saat suara panitia lembut, senyumnya hadir, dan ia mau memeriksa ulang tanpa menghakimi, di situlah kepercayaan tumbuh. Kita merasa tidak sedang diuji, tapi sedang dibantu. Dan itu penting-teramat penting.

Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal siswa yang masuk sekolah, tapi juga soal ekosistem dukungan yang mengiringinya: keluarga, panitia, guru, dan masyarakat.

Bagi saya pribadi, hari ini bukan sekadar hari pendaftaran. Tapi hari ketika saya kembali diingatkan bahwa di balik setiap map berisi dokumen pendaftaran, ada harapan, perjuangan, dan kecemasan yang tak selalu terlihat.

Tidak berapa lama kemudian, seorang panitia verifikasi pendaftaran menghampiri saya. Ia menyodorkan selembar kertas sambil berkata,
"Pak, ini bukti pendaftarannya. Pendaftaran sudah selesai, tinggal dipantau saja pengumumannya."

Saya mengangguk, menerima kertas itu dengan rasa lega.
"Terima kasih, Pak," ucap saya tulus, lalu bergegas meninggalkan tempat pendaftaran bersama anak dan harapan yang menyertainya.

Hari ini, saya tak hanya selesai mendaftarkan anak.
Saya juga pulang dengan pelajaran berharga: bahwa empati bukan sekadar tahu rasanya-tapi pernah benar-benar ada di sana, mengalaminya sendiri.

Dan di antara berkas-berkas itu, semoga selalu ada ruang bagi empati untuk masa depan negeri ini semakin baik! 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun