Mohon tunggu...
Kak Memo
Kak Memo Mohon Tunggu... Kolumnis

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Yono Beli Pertamax Rasa Pertalite, Terus Beli Pertalite Rasa Apa?

2 Maret 2025   15:15 Diperbarui: 2 Maret 2025   14:55 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertamax Rasa Pertalite (Sumber: Dokumen Pribadi)

Indonesia, negeri kaya sumber daya yang katanya ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’, kini tengah dilanda fenomena baru: tren "Yono" beli Pertamax rasa Pertalite. Konon katanya, harga Pertamax sudah tidak lagi masuk akal bagi rakyat biasa, maka dibuatlah inovasi baru, Pertamax rasa Pertalite! Luar biasa! Di negeri yang katanya murah senyum, rakyat harus belajar tersenyum saat membayar harga BBM yang naik turun seperti roller coaster di Dufan.

Namun, satu pertanyaan yang lebih fundamental muncul dari tren ini: Kalau Pertamax sekarang rasanya seperti Pertalite, lalu Pertalite rasanya apa? Air mata rakyat? Atau angin janji kampanye?

Inovasi Tiada Henti!

Pertamina, sebagai perusahaan yang selalu ingin berinovasi, tampaknya terus mencari cara agar rakyat tetap merasa senang meski harga BBM terus melambung. Maka, lahirlah kebijakan yang membuat semua orang berpikir keras seperti mengerjakan soal matematika waktu ujian nasional. Ada Pertamax Green, Pertamax Turbo, Pertalite ramah lingkungan (tapi harganya makin tidak ramah di dompet), dan kini ada Pertamax rasa Pertalite. Selamat! Ini adalah prestasi besar dalam dunia perminyakan!

Konon, strategi ini untuk membantu masyarakat agar tetap bisa menikmati bahan bakar berkualitas tanpa harus merogoh kantong terlalu dalam. Tapi, apakah benar begitu? Atau ini hanya sekadar permainan kata, agar rakyat tidak sadar kalau intinya harga tetap naik, hanya dikemas dengan bahasa yang lebih manis? Seperti janji-janji manis waktu pemilu, yang setelahnya berubah jadi omong kosong?

Menyulap Kenyataan

Indonesia adalah negeri yang hebat dalam menciptakan eufemisme. Kenaikan harga BBM tidak lagi disebut sebagai ‘kenaikan harga’, tetapi ‘penyesuaian harga’. Kelangkaan bahan bakar tidak disebut ‘krisis’, tetapi ‘pengaturan distribusi’. Bahkan, antrian panjang di SPBU bukan karena stok menipis, tetapi ‘antusiasme masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah’. Kreatif, bukan?

Dengan pola ini, rakyat dipaksa untuk tetap optimis. Mau beli BBM mahal? Tenang, toh katanya subsidi tetap ada. Walaupun pada akhirnya, uang subsidi itu juga berasal dari pajak rakyat sendiri. Ini seperti menjual nasi bungkus ke orang yang berasnya dia sendiri yang menanam, tapi tetap harus bayar harga premium. Sungguh, inovasi ekonomi yang luar biasa!

Dari Tren "Yono" Sampai Tukang Ojek

Tren "Yono", yang menggambarkan keluhan rakyat terhadap kenaikan harga BBM, kini jadi bahan lelucon pahit di kalangan masyarakat. Tukang ojek, misalnya, harus berpikir dua kali sebelum mengisi bensin. Jika dulu dengan uang Rp 50 ribu ia bisa dapat hampir satu tangki penuh Pertalite, sekarang jumlahnya menyusut seperti gaji yang dipotong utang. Mau beralih ke Pertamax? Ah, mimpi terlalu tinggi itu juga berbahaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun