Dalam hidup ini, ada banyak keputusan sulit yang harus dihadapi. Menghadapi ujian, menghadapi deadline, menghadapi kenyataan, menghadapi mantan yang tiba-tiba ngajak balikan (dan kita tahu, itu jebakan). Namun, di tengah kebingungan ini, ada satu solusi yang tampaknya semakin populer: kabur aja dulu.
Tidak perlu repot-repot menghadapi konsekuensi, tidak perlu pusing memikirkan solusi, cukup kabur, dan biarkan waktu serta semesta yang bekerja. Metode ini telah terbukti ampuh di berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik, hubungan asmara, dunia kerja, hingga utang piutang.
Mari kita mulai dari dunia politik, arena di mana filosofi "kabur aja dulu" mencapai kejayaannya. Begitu ada skandal, langsung menghilang. Ada dugaan korupsi? Pergi umrah dulu, merenungi dosa (dan barangkali menyusun strategi). Ada kegagalan dalam proyek besar? Sibuk mendadak, bahkan bisa tiba-tiba sakit dan harus menjalani perawatan di luar negeri. Luar biasa! Tanggung jawab? Bisa nanti. Yang penting, citra tetap aman.
Di dunia kerja, teknik kabur juga semakin populer. Saat deadline menumpuk dan atasan mulai bertanya-tanya soal laporan yang belum rampung, apa yang dilakukan? Tiba-tiba sinyal hilang, laptop error, atau mendadak ada keperluan keluarga yang "sangat mendesak." Dan kalau bos mulai mendesak, opsi resign mendadak selalu tersedia. Karena, untuk apa menghadapi masalah jika bisa menghindarinya dengan elegan?
Tak kalah menariknya adalah strategi kabur dalam hubungan asmara. Menghadapi pasangan yang menuntut kepastian? Menghilang saja tanpa kabar. Sudah janji menikah, tapi ragu? Ganti nomor, hapus akun media sosial, dan sebaiknya pindah kota sekalian. Toh, daripada ribet menjelaskan alasan sebenarnya, lebih baik membiarkan pasangan menebak-nebak sampai akhirnya menyerah sendiri.
Bahkan dalam urusan utang piutang, strategi ini juga banyak diadopsi. Bayangkan seseorang yang hobi meminjam uang, namun alergi terhadap kata "bayar." Saat ditagih, tiba-tiba sibuk. Jika ditekan lebih jauh, langsung ganti nomor atau lebih dramatis lagi, menghilang dari peradaban. Dan kalau sampai bertemu lagi di masa depan? Jawab saja dengan penuh keyakinan, "Wah, maaf banget, aku lupa!" Lalu lanjutkan dengan janji manis baru yang entah kapan ditepati.
Tak lupa, tren ini juga merambah ke dunia hukum. Seperti kasus seorang pejabat yang belakangan viral karena tersandung kasus korupsi miliaran rupiah, tetapi tiba-tiba jatuh sakit begitu dipanggil KPK. Atau seorang figur publik yang terang-terangan melakukan pelanggaran, tapi mendadak berstatus "hilang" saat diminta klarifikasi. Begitu ketahuan, alasan klasik seperti "saya tidak tahu apa-apa" atau "itu hanya miskomunikasi" langsung digunakan. Dan anehnya, strategi ini sering berhasil!
Tidak bisa dimungkiri, strategi "kabur aja dulu" memang menawarkan banyak keuntungan jangka pendek. Stres berkurang, tekanan hidup menghilang, dan—yang paling penting—beban tanggung jawab bisa ditunda. Namun, layaknya utang yang terus berbunga, masalah yang ditinggalkan tidak akan benar-benar hilang. Cepat atau lambat, mereka akan kembali mengetuk pintu, bahkan mungkin dengan tenaga yang lebih besar.
Tapi siapa yang peduli? Selama masih bisa kabur, kenapa harus pusing? Lagipula, selalu ada alasan baru, tempat baru, dan identitas baru untuk digunakan. Kalau strategi ini sudah terbukti ampuh dari generasi ke generasi, siapa kita untuk mengubah tradisi?
Jadi, kalau lain kali menghadapi situasi sulit, ingatlah filosofi sederhana ini: kabur aja dulu. Karena menghadapi masalah itu overrated, dan tanggung jawab hanyalah mitos yang diciptakan oleh orang-orang yang kurang kreatif.