SDN yang beralamat di 12-12 Soyamisaki, Wakkanai, Hokkaido 098-6758 ini didirikan pada 1 Juni 1894. Berada di 45 derajat, 30 menit, 49 detik Lintang Utara / 141 derajat, 57 menit, 17 detik Bujur Timur.
Gedung bangunan sekolahnya sederhana dengan warna dominan kuning cerah dan putih. Ketika saya berjalan masuk ke area sekolah itu, tampak beberapa siswa dan 2 orang seperti guru yang sepertinya sedang menyiapkan olah raga sepak bola. Saya memberanikan diri bertanya apakah ini benar SDN paling utara di Jepang, dan salah seorang tua tadi yang mungkin guru, menjawab benar sambil menunjuk sebuah papan penandanya di depan sekolah itu. Saya menilai SDN ini sepi sekali muridnya. Dan ketika saya buka websitenya, benar, ternyata muridnya total hanya 57 orang saja dari kelas 1 hingga kelas 6 yang terdiri 35 murid laki-laki dan 22 murid perempuan dibawah bimbingan 11 orang guru saja. Tapi dari pertemuan dan percakapan singkat sesaat tadi, saya masih bisa menangkap kesan denyut sebuah pusat kehidupan kecil yang hangat. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana 2 Â Guru tadi yang nampak tidak hanya mengajar, tapi menjadi keluarga kedua bagi anak-anak yang tumbuh dalam jumlah murid yang sangat sedikit. Di ujung paling utara di Jepang ini saya melihat wajah pendidikan di batas paling utara Jepang yang masih tetap semangat mengajarkan bagaimana hidup berdamai dengan alam, menghadapi kesunyian, serta menghargai setiap perjumpaan manusia. Saya apresiasi raut muka siswa yang sempat saya temui tadi menggenggam cita-cita kecil mereka, menatap laut luas di utara sana dan jika saya membayangkan bahwa saya adalah salah satu murid di SDN ini, suatu hari saya berkata pada sekitar bahwa "Meski terbiasa hidup jauh dari gemuruh keramaian, saya dulu bersekolah di tempat paling utara di Jepang, Omisaki Shgakk. Berdiri teguh menggapai cita-cita di tanah yang terus ditiup angin utara."
Ketika saya berjalan meninggalkan halaman SDN Omisaki, saya menoleh sekali lagi ke halaman sekolah dan melampaikan tangan ke meraka sembari berkata sendiri : " Hari ini saya melihat sendiri bahwa meski jauh di ujung negeri ini, anak-anak kecil tumbuh kuat, bukan karena dilindungi dari kerasnya alam, tetapi justru karena mereka belajar hidup bersahabat dengannya". Dan saya pulang membawa pelajaran sederhana itu, tentang keberanian menggapai masa depan menenun mimpi, jauh dari keramaian, dekat dengan keheningan laut utara, di sebuah sekolah mungil yang berdiri di tepi negeri Jepang. Dibawah ini adalah beberapa Jejak Digital berupa foto ketika saya menjejakkan kaki di SDN tersebut.
Saya melirik jam yang muncul di layar HP, masih pukul 16.40 an JST, saya memanfaatkan waktu yang masih tersisa untuk bergeser ke jalanan di arah tenggara dari  sisi monumen "". Cuma sekitar 2 menitan berkendara saya melihat sebuah bangunan mungil bercat oranye putih dengan tanda lambang khas Post Jepang. Ya, itulah tujuan kecil saya berikutnya di sore itu : Kantor Pos Japan Post Soyamisaki (). Saya melihat kantor pos ini bukan sekadar titik layanan; ia adalah semacam monumen diam yang tak kalah penting dari tugu monumen yang jauh darinya. Sebenarnya saat itu saya ingin mengabadikan jejak  lewat kartu pos bersampul perangko khas utara  bertuliskan: " " --- simbol bahwa saya pernah hadir di sini, di ujung paling utara negeri sakura. Tetapi karena saya tiba sudah diluar jam layanan, maka cap stempol pos sederhana sebagai salah satu bukti perjalanan yang tak semua orang bisa tempuh, tidak bisa saya dapatkan. Kecewa dikit sih ya. Tapi tak apa, khan masih ada jejak digital foto dan video yang saya buat. Dan akhirnya saya berjalan keluar dan ketika pintu kaca otomatis terbuka, samar-samar di kejauhan, saya bisa membayangkan Pulau Sakhalin milik Rusia, hanya sekitar 43 kilometer dari sini. Begitu dekat, namun juga terasa sangat jauh. Saya merasa amat bersyukur bisa ke tempat ini. Sebuah kantor pos kecil yang mengajarkan satu hal bahwa bahkan di tempat yang paling ujung, paling sunyi sekalipun, kehidupan komunikasi tetap berjalan. Surat-surat tetap diantarkan. Jaringan komunikasi tetap terhubung. Dan keramahan manusia tetap hadir. Di sini, di tempat di mana daratan Jepang seolah mengucapkan "sampai di sinilah aku", kantor pos mungil ini berdiri teguh --- bukan hanya sebagai layanan logistik, tetapi sebagai penanda kehadiran manusia di batas geografis.
Dan sebelum keluar, mata saya melirik sebuah mesin ATM JP Bank di sudut ruangan dekat pintu masuk. Ada sensasi lucu namun monumental saat jari saya menekan tombol ATM itu, sebuah transaksi biasa yang terasa istimewa hanya karena posisinya yaitu tak ada ATM lain yang lebih utara dari sini di seluruh negeri ini.
Disisi lain, di Kantor Pos itulah, takdir punya cara tersendiri yang khas untuk mempertemukan saya dengan sesama anak Nusantara di tempat yang tak pernah terbayangkan. Seorang pemuda membalas ramah sapaan saya. Ia memperkenalkan diri sebagai pemagang muda dari Probolinggo, Jawa Timur. Sedang menjalani program magang peternakan sapi di sekitar kawasan ini , di belakang bukit disisi belakang Kantor Pos itu katanya. Dia jauh dari kampung halaman, meniti harapan, menguatkan cita-cita di negeri asing. Ketika itu saya amat bersyukur bisa bertemu pemuda yang penuh semangat itu. Sore itu dua anak bangsa, dua generasi yang berbeda, dua perjalanan berbeda, yang entah bagaimana dipertemukan begitu saja di ujung dunia. Ada rasa haru dan bangga. Melihat semangat anak muda ini, saya seperti melihat refleksi dari semangat banyak anak Indonesia yang berani menembus batas demi masa depan.