JEJAK MERAH PUTIH DI UJUNG PALING UTARA JEPANG
Oleh: Tun Ahmad Gazali,SH.,M.Eng.,Ph.D. *)
Dari berbagai kisah perjalanan, ada yang lahir dari ruang kosong dalam kesibukan. Bukan hasil rencana panjang, bukan sekadar wisata biasa, melainkan semacam panggilan dari dalam diri ketika itu: "Ayo, berangkatlah, sejauh yang kau bisa." Â Sesekali berjalan tanpa rencana untuk sekadar berwisata. Perjalanan yang lahir dari jeda waktu yang tiba-tiba terbuka di antara 2 kegiatan, menunggu untuk diisi dan saya merasa sangat sayang untuk hanya dilewatkan.
Itulah yang membawa saya ke Tanjung Soya, titik paling utara Jepang, menembus jalanan yang umumnya sunyi di pulau Hokkaido ini melintasi hamparan hijau yang baru bangkit dari dinginnya musim, berteman dengan alam liar, dan tanpa diduga: mempertemukan takdir dengan sesama anak bangsa di ujung bumi paling utara Jepang.
Kisah yang saya bagi unggah ini berawal dari jeda waktu kosong menunggu keberangkatan Silver Ferry di Pelabuhan Tomakomai yang baru akan berangkat menjelang tengah malam, yang akan mengantarkan saya menuju Pelabuhan Ferry Hachinohe dan sebelum akhirnya tiba di pelukan hangat keluarga saya di rumah kami di Kota Kitakami. Sementara menunggu, saya memilih untuk mengisi hari itu dengan sebuah petualangan tanpa rencana menuju ke ujung paling utara Hokkaido, mengemudi sendiri, saya melaju menembus jalanan panjang menuju point paling utara Jepang !
Dan saya menemukan informasi di internet bahwa itu adalah Tanjung Soya. Dan ketika saya membuka peta, ada sebuah titik di peta Jepang, jauh di ujung utara, tempat daratan perlahan meruncing ke arah lautan dingin. Tempat itu bernama Sya Misaki, Tanjung Soya dan ditulis dalam huruf kanjinya adalah . Mungkin bagi sebagian orang, ini hanyalah koordinat geografis: titik paling utara dari Negeri Matahari Terbit. Tetapi bagi para penjelajah, petualang, dan jiwa-jiwa yang mendambakan sesuatu yang tak biasanya, Sya Misaki bukan sekadar tempat, dia adalah produk perasaan setelah meraihnya dengan perjalanan panjang.
Dari situs ana.co.jp, Â saya mendapat tambahan info yang makin menggugah minat saya untuk kesana, bahwa dengan lokasi yang terletak di garis lintang 45 derajat, 31 menit, 14 detik di utara, Tanjung Soya adalah titik paling utara Jepang. Titik ini ditandai dengan monumen berbentuk piramida segitiga setinggi 5,44 dengan motif Bintang Utara. Monumen ini diterangi pada malam hari sebagai simbol ilham surgawi. Monumen ini adalah titik yang terkenal untuk banyak orang mengambil foto kenang-kenangan kunjungan mereka.
Di lokasi itu kita bisa merasakan angin utara yang seakan tak pernah tidur. Ia bertiup kencang dari Laut Okhotsk, menerangkan butiran-butiran debu di monumen segitiga yang kokoh menantang cakrawala.
Meski sudah banyak perjalanan saya berkeliling Jepang gratis sembari mencari nafkah, perjalanan saya kali  ini bukan hanya sekedar perjalanan geografis. Ternyata ini menjadi bagian dari bertambahnya rangkaian kisah perjalanan hidup saya. Setelah mengabdi lebih dari 30 tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi  Jawa Timur , saya mengajukan pensiun dini dengan hak pensiun pada akhir tahun 2019 lalu. Saya bersyukur mendapatkan kesempatan baru untuk melanjutkan hidup, kehidupan, dan karir di negeri matahari terbit ini. Sebuah negeri yang bukan hanya memberi saya rizki untuk nafkah kami sekeluarga bertujuh orang,  tetapi juga ternyata menjadi ladang baru untuk memuaskan salah satu hobby  saya, yaitu menjelajah dan mengemudi menempuh jarak-jarak extra super jauh, karena saya amat suka mengemudi minimal 10 jam perjalanan sekali menginjak pedal gas.
Bulan Mei baru lalu di Hokkaido adalah masa ketika bumi mulai bangkit dari beku dan  musim semi yang cerah di banyak tempat di Jepang. Namun semakin saya melaju ke utara, warna musim semi berubah perlahan. Pohon-pohon masih malu-malu mengeluarkan tunas, udara tetap menyimpan dingin yang tajam, seakan musim dingin belum sepenuhnya rela pergi. Udara masih sejuk, bersih, dan menyegarkan. Jalanan panjang di utara Hokkaido terasa kosong, lengang, seperti jalur menuju keheningan pribadi saya sendiri. Boleh dibilang tak ada kemacetan, jarang sekali kendaraan berpapasan. Hanya saya, mobil Mazda Biante saya, dan suara angin yang berbisik lembut disela-sela jendela kaca yang saya buka sidikit agar ada anginmasuk mengurangi rasa kantuk yang sesekali menimpa karena menngemudi sendirian di mobil berkapasitas 7 orang ini. Sesekali, binatang liar muncul di rute perjalanan yang saya lalui. Rubah kecil liar berlari tergesa menyeberang jalan dan sesekali saya melihat kawanan mereka tampak mengintip dari balik semak hijau, dan tak jarang rusa liar muncul melompat anggun melintasi jalanan panjang Hokkaido yang tenang. Wow, setiap perjumpaan dengan makhluk liar itu menghadirkan getaran keindahan alam yang bebas, yang seakan masih menjaga ketuanannya di ujung utara negeri ini.
Namun, berkendara ke utara Hokkaido bisa menghadirkan satu lagi tantangan khas: pom bensin yang sangat jarang. Boleh dibilang sekitar setelah hampir 100 km an mengemudi, kita akan bertemu Pom Bensin berikutnya. Saya berpegang pada prinsip mutlak: "Jangan pernah biarkan tangki bensin melewati setengah. Begitu tanda tangki bensin menyentuh separuh, segera isi penuh." Di tempat seperti ini, bensin bukan sekadar bahan bakar, melainkan kunci utama kelangsungan perjalanan. Dibawah ini adalah foto yang sempat terekam saat perjalanan keberangkatan :