Mohon tunggu...
Tulus Barker Naibaho
Tulus Barker Naibaho Mohon Tunggu... Keliling Indonesia -

Traveller. Bercita-cita menjadi penulis dan menetap di London. IG @tulus182 youtube.com/tuluss182

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Menentang Sebuah Sistem Koloni dalam Pernikahan Suku Batak Toba

8 Juli 2017   09:36 Diperbarui: 8 Juli 2017   10:11 1842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan suku batak toba/sumber : ig @wendiambarita

JUST SHARING (AGAK PANJANG)

BACA SAMPAI HABIS!!

Pernikahan adalah sebuah upacara sakral dan suci. Agama apapun meng'AMIN' kan statement tersebut, terlepas apakah pernikahan tersebut dipaksakan atau tidak, namun nyatanya pernikahan menjadi salah satu karya TUHAN yang luar biasa untuk mempersatukan sepasang manusia berbeda jenis kelamin. Kalau ada pernikahan sejenis, ya tergantung penilaian masing-masing, entah itu dari sudut pandang agama, budaya, dan prinsip pribadi. Kalau dalam kultur budaya maupun agama di Indonesia, pernikahan sejenis termasuk tabu dan ditentang. Tetapi tulisan ini tidak akan membahas pernikahan sejenis alias "pedang makan pedang".

Baik akan kulanjutkan.

Dari sekian ratus keragaman suku, budaya dan adat istiadat di Indonesia, pernikahan merupakan salah satu acara yang sangat penting tapi tidak gampang, terutama jika menyangkut urusan 'mahar'.

Tengok saja bagaimana curhatan-curhatan lelaki Bugis tentang 'uang panai' atau mahar yang harus dibayarkan demi melamar wanita Bugis. Atau cerita lelaki Sumba yang kadang mempersoalkan 'belis' yang terlalu tinggi untuk dibayarkan, ditambah lagi mahalnya harga kerbau dan kuda, menjadikan sedikit banyak lelaki baik dari suku Bugis ataupun lelaki-lelaki Sumba urung menikah dan memilih 'jomblo'.

Begitu juga dalam budaya suku  Batak Toba.

'Sinamot' atau mahar untuk melamar wanita Batak yang terkadang mencekik membuat banyakk lelaki Batak Toba harus memutar otak untuk hanya sekedar mengikat janji suci dalam pernikahan.

Namun yang juga menjadi sorotan bukan hanya di biaya 'sinamot' yang menguras dompet dan harta benda, tapi juga sebuah hukum keharusan untuk meminang atau menikah dengan sesama orang Batak.

Memang dewasa ini sudah banyak orang2 tua yang memilih 'open mind' dalam artian membebaskan anaknya untuk meminang pasangan bukan orang Batak, meskipun secara Adat Batak, pasangan bukan orang Batak tersebut harus ditasbihkan menjadi Orang Batak, yaitu dibuatkan Marganya.

Hal yang dijelaskan di atas biasanya berlaku jika lelaki Batak sudah kelewat jatuh cinta pada wanita bukan Batak, dan harus dinikahkan.

Lain cerita jika wanita Batak yang memilih menikah dengan lelaki bukan Batak.

Nah, di sinilah masalah Budaya menjadi pertaruhan si wanita Batak tersebut. Karena jika wanita bukan Batak memilih menikah dengan lelaki bukan Batak, ada banyak pertentangan yang harus dilalui. Kebanyakan keluarga Batak, khususnya yang masih bermukim di Sumatera Utara dan masih kental Adat Istiadatnya, akan menentang hal tersebut, mulai dari orang tua, sanak saudara, hingga saudara laki-laki wanita tersebut.

Ada sebuah cerita dari seorang teman tentang hal yang saya jelaskan di atas.

Ada seorang wanita Batak, sebut saja namanya Bunga. TUHAN mempertemukan Bunga dengan seorang lelaki antah berantah dari Kupang. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta dan bermaksud untuk menikah.

Sebagai wanita yang lahir dan besar di daerah Toba, tentulah Bunga menyadari bahwa akan ada banyak pertentangan untuk memuluskan rencana mereka untuk bersama selamanya.

Namun, cinta sudah kelewat menggerogoti akal sehat Bunga. Wanita Batak itu mencoba mengenalkan si lelaki Kupang tadi dan membawanya ke kampung halaman Bunga.

Bertemu lah lelaki Kupang tersebut dengan keluarga Bunga. Sontak keluarga Bunga terkejut dan mencoba menyadarkan Bunga bahwa masih banyak lelaki Batak yang tampan dan mapan yang bersedia menikahi Bunga.

Tapi Bunga bersikeras. Ini bukan persoalan yang sederhana. Bunga sudah memutuskan pria yang akan jadi teman hidupnya sampai maut memisahkan. Penjelasan demi penjelasan berulang kali dilontarkan pada Bunga. Keluarga Besar Bunga yang lain juga berusaha mencuci otak Bunga, dan ingin membuat Bunga menyadari satu hal, bahwa sebagai wanita Batak, Bunga harus menikah dengan orang Batak.

Tapi Bunga tetap mempertahankan keputusannya. Lelaki Kupang itu hanya diam dan tak bisa berkata-kata. Memang kenyataannya, persoalan perbedaan budaya dan kebiasaan sangat kontras terlihat. Untuk persoalan seagama, Bunga sudah lulus ujian karena mereka memang seagama. Namun tetap saja, lelaki itu bukanlah orang Batak. Dia tak biasa dan tak terbiasa dengan budaya Batak. Dia tak paham tentang silsilah adat Batak, aturan adat Batak, bahasa Batak, hingga makanan khas Batak. Dia tak tahu apa-apa.

Akhirnya Bunga memberitahukan kepada keluarganya bahwa ia akan menikah dengan lelaki Kupang itu. Orangtuanya syok, dan bersikeras untuk menggagalkan rencana itu.

Mereka tidak merestui.

Tapi nyatanya TUHAN berkehendak lain, dan Cinta memang buta. Singkat cerita lagi,akhirnya mereka menikah di kampung halaman lelaki Kupang itu.

Temanku menunjukkan foto pernikahan mereka. Cahaya kebahagiaan terpancar dari senyum manis Bunga di foto itu. Namun ironisnya, orangtua Bunga tidak ada di pernikahan itu. Mereka tetap menolak dan tidak merestui pernikahan Bunga dengan lelaki antah berantah dari Kupang.

Aku mencoba membayangkan bagaimana sakitnya jika orangtua tidak hadir di pernikahan anaknya. Si anak tentu akan bersedih, terlepas dari senyuman kebahagiaan atas janji suci untuk sehidup semati.

Itulah yang mungkin dirasakan Bunga. Hatinya bergejolak tatkala mereka berdua berjalan pelan menuju altar Gereja. Bibir manisnya getir mengucapkan janji suci di depan TUHAN.

Kenyataan pahit yang harus diterima Bunga adalah di hari bahagianya yang hanya terjadi sekali dalam seumur hidupnya, yaitu pernikahan, dan di saat itu pula, saat ia menoleh ke seliling jemaat gereja, orangtua dan saudara lelakinya tidak hadir.

Untuk perasaan orangtua Bunga dan juga saudara lelakinya mungkin aku sedikit mengerti. Orangtua Bunga dan juga saudara lelakinya tentulah sangat bersedih. Merelakan anak wanitanya untuk dipinang lelaki bukan Batak adalah sesuatu yang berat untuk diterima.

Orangtua manapun di dunia ini tentulah ingin menikahkan anaknya. Apalagi orangtua dari keluarga Batak. Menikahkan seorang anak adalah kebanggan dan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Seluruh orangtua Batak manapun akan bersedih jika tidsk bisa hadir di pesta pernikahsn anaknya.

Untuk kasus Bunga, selain anak perempuan di keluarganya, dia juga anak pertama. Anak pertama perempuan di keluarga batak sangat sangat sangat berharga. Dialah "Boru Panggoaran, Anak Panggoaran, dan juga Boru Buhabaju". Dialah kebanggaan di keluarganya, harta yang sangat berharga, dan mutiara di keluarganya. Betapa sedih orangtua Bunga, yang sudah membesarkannya, mendidiknya, mengenalkannya pada adat istiadat suku Batak Toba, dan juga agama, akhirnya mendapati sebuah kenyataan pahit bahwa anak perempuan kesayangannya, harta terindah di keluarganya, harus menikah dengan orang lain, orang dari Kupang, dan bukan orang Batak.

Kutatap tajam foto itu. Aku mencoba mereka-reka kenapa Bunga sampai begitu berani memutuskan pernikahan yang ditentang keluarganya. Sejujurnya aku enggan menghakimi Bunga. Tidsk ada satu orangpun yang berhak menilai buruk keputusannya.

Toh seagama, dipersatukan dalam agama yang sama. Tidak ada masalah sebetulnya untuk urusan keyakinan. Tapi budaya dan adat istiadat?

Memang Bunga tidak pernah meminta untuk lahir di keluaga Batak. Dia pun tidak pernah memaksaksn diri untuk mencintai lelaki Kupang itu.

Kupetik gitar sembari menikmati malam yang semakin larut.

Kupejamkan mataku sambil membayangkan ada suara jangkrik di sini, agar semakin membuat malam terasa hangat.

Aku, dan mungkin sebagian dari kalian tidak akan bisa memahami dan menerima keputusan Bunga.

Apakah hanya karena CINTA??

Entahlah.

Hanya Bunga dan TUHAN yang tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun