Mohon tunggu...
tukiman tarunasayoga
tukiman tarunasayoga Mohon Tunggu... Dosen - Pengamat Kemasyarakatan

Pengajar Pasca Sarjana Unika Soegiyopranata Semarang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kontradiktif Permanen

12 Desember 2020   08:35 Diperbarui: 12 Desember 2020   08:36 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kontradiktif Permanen

JC Tukiman Tarunasayoga

 Ternyata terbukti, dalam diri manusia (setiap orang?) selalu terjadi hal-hal yang kontradiktif di dalam dirinya. Beranda dan kamar tamunya (etalase) bagus bersih, tetapi dapur dan toiletnya, minta ampun, kotor banget. Omongannya tidak terbukti dalam tindakannya, atau sebaliknya, tindakannya tidak selalu mencerminkan omongannya. 

Ia punya konsep-konsep pemikiran yang bagus tentang pemberantasan korupsi misalnya, atau tentang akhlak serta moral kehidupan; dan kalau bicara tentang hal itu tampak amat meyakinkan seolah-olah bak malaekat nan putih bersih. Kenyataannya, sekali lagi, omongan indahnya tidak tercermin dalam tindakannya. Kontradiktif.

Ternyata terbukti, dalam diri manusia (setiap orang?) selalu terjadi hal-hal yang kontradiktif di dalam dirinya. Tampaknya garang pemberani penuh pesona ketika membahas atau pidato di hadapan massa, namun di balik panggung dirinya (etalase diri belaka), sikap senyatanya adalah penakut, suka ngumpet atau mungkin kabur entah di mana/ke mana. Kenyataannya, dalam diri manusia ada kecenderungan apa yang dilakukannya tidak selalu sesuai dengan apa diomongkannya. Kontradiktif.

Ternyata terbukti, dalam diri manusia (setiap orangkah?) terjadi kontradiksi permanen, yaitu bila dirunut sejarah kehidupannya, dulu-dulu ya pernah seperti itu. Dia yang setelah menjabat melakukan tindakan korupsi, ternyata dulu sewaktu mahasiswa atau pun mungkin sebelum itu, integritas dirinya dalam hal kejujuran sudah menimbulkan tanda tanya, misalnya. 

Atau waktu itu ditolerir saja karena disintegritasnya dianggap "kecil-kecilan" belaka, tidak serius. Memang harus diakui, ada juga dia yang melakukan tindakan korupsi bukan karena "cacad bawaan" melainkan karena "tiba-tiba tergoda" ketika dalam pekerjaannya/jabatannya ternyata bergelimang uang dan harta lain yang sangat-sangat mudah untuk "diambil."

Ternyata terbukti, dalam diri manusia (setiap orangkah) terjadi kontradiksi permanen. Dia yang contohnya  garang jebule garing (tampaknya pemberani, padahal senyatanya penakut), ternyata memang sejak dulu begitu. 

Ia merasa berani dan kuat ketika di tengah-tengah massa, atau di depannya ada mikrofon, padahal senyatanya lunglai jika berada di dalam rumahnya dalam kesendirian. Contoh lain, dia yang selalu tampil  "nyengit, thengil, atau sok jagoan" ketika berhadapan dengan orang/pihak lain apalagi yang dianggapnya berseberangan, ternyata dalam kehidupan sehari-harinya tidak seperti itu karena jebule lemes, pemalu, atau bahkan penakut, termasuk pengecut barangkali.  Kontradiksi permanen.

Tentu kita bertanya-tanya: Mengapa begitu, mengapa dalam diri manusia ada kontradiksi permanen seperti contoh-contoh di atas?   K.J. Veeger (1993) menulis dalam bukunya,  antara lain, dalam diri manusia ada kebutuhan eksistensial yang ingin bahkan harus dipenuhinya, yakni  pengakuan sosial (pihak lain/publik). 

Dalam diri manusia (setiap orang?) ada dambaan agar dirinya itu diakui oleh orang lain; dan damba itu lalu memuncak pada persepsi diri,  demikian: "Saya akan diakui jika kaya; saya akan diakui orang lain jika pinter memimpin, saya akan diakui publik jika pemberani, dsb." Maka orang berlomba-lomba membangun persepsi diri dengan berbagai cara dan atribut. Sibuklah orang mencari cara dan atribut untuk memperoleh pengakuan orang/pihak lain. Kontradiksi permanenlah yang lalu banyak ditempuh orang.

Memang, pencarian eksistensial dapat kebablasan, sampai-sampai orang berkembang menjadi pribadi bagaikan kacang lupa kulitnya; dengan ungkapan lain banyak orang lupa akan asal usulnya. Bahasa Jawa akan menyebutnya lali cilik-cilikane biyen. Inilah contoh dan bentuk-bentuk pencarian eksistensial kebablasan, dan semuanya itu akan semakin terbukti betapa orang akan lunglai tak berdaya bagaikan krupuk mlempem, bungkam atau ngumpet  ketika ia  pada akhirnya harus berhadapan dengan masalah hukum. Karena itulah ada seruan: Jangan berhenti atau bosan menegakkan hukum sekali pun langit itu runtuh.

-0-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun