Mohon tunggu...
Rena
Rena Mohon Tunggu... Freelancer - nama asli

pecinta proses dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Genosida, Myanmar, ASEAN, UN

14 Oktober 2017   09:26 Diperbarui: 14 Oktober 2017   09:41 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi. Kedua mata saya susah sekali terbuka, namun alarm dari handphone tidak bisa diam sendiri, tanpa di diamkan. Suaranya nyaring, memecah kedamaian dalam lelap semenit lalu. Alarm handphone seolah-olah berteriak, 'matahari tidak mau menunggu', katanya, maka saya harus melaju. Entah untuk siapa kalau bukan untuk saya sendiri. Saya harus tetap melaju, mungkin demi kemanusiaan, demi keadilan, bisa jadi, namun itu terlalu romantis. Biar saya mengaku, saya melaju karena saya yakin itu adalah satu-satunya cara agar saya tetap tenang.

Tadi malam, saya tidur larut sekali, membaca-baca kertas electric di laptop yang semakin hari makin minta ganti. Yang saya baca adalah berita masa kini, meskipun terkadang saya harus berselancar ke masa lalu, guna mendapatkan perspective sejarah untuk menganalisa sesuatu. Berita masa kini, mengenai genosida Rohingya. Banyak berita membakar hati dan buat pening kepala. Terdapat gambar-gambar yang menyayat hati, mayat-mayat bergelimpangan, rumah-rumah di bakar, tua muda di aniyaya. Visual lebih besar dari pada kebenaran. Salah satu produk modern bercampur romantisisme perkembangan peradaban manusia: gambar, menjadi representasi. Ingat dulu, kalau tidak salah zaman digjaya Napoleon Bonaparte, gambar-gambar ibarat dewa. Seni menggelora, sempat mengalahkan akal manusia. Tapi saat ini saya mau bahas Rohingya. Sepenggal sejarah seni diatas, biar hanya menjadi pengantar saja, salah satu pendahuluan karena saya merasa saat ini gambar lebih digemari dari kata-kata. Di headline koran-koran online, gambar bisa lebih berteriak dari kata-kata yang di teriakan, itu benar. Begitu pula gambar yang saya temukan di berita-berita itu. Gambar tersebut memberikan ilustrasi, yang membuat kita menerka-nerka apa gerangan yang terjadi disana. Setelah kita berimajinasi mengenai gambar tersebut, kita akhirnya membaca kata-kata yang tertuang dalam artikel. Mungkin kata-kata yang ada dalam artikel, bisa mendukung terkaan-terkaan kita daripada gambar yang sudah lebih dulu kita lihat.

Setahu saya hanya ada dua jenis reaksi setelah membaca : menjadi tahu, atau merasa tidak tahu apa-apa. Meskipun 'merasa tidak tahu apa-apa' itu sedikit berlebihan, namun itulah yang menyerang saya ketika saya mendapatkan informasi. Sering kali informasi bukan menjawab-pertanyaan-pertanyaan saya, melainkan membuat saya bertanya-tanya. Malam itu pertanyaan besar saya adalah mengenai kualitas kebenaran informasi tersebut, apakah terlepas dari subjektivitas refugees, karena para journalist tentu saja tidak di izinkan untuk berada didalam kawasan konflik, jadi satu-satunya sumber informasi mereka adalah refugee.

Kebanyakan berita menggunakan Bahasa aktivisme: Genosida, ethnic cleansing, sedang terjadi di Myanmar. Penyebab dari konflik itu sendiri adalah agama atau ethnic, konflik antara minoritas-mayoritas (di asumsikan). Lalu pemerintah Myanmar membantai habis, dan beberapa kalangan menuntut Aung San Suu Kyii, meskipun beberapa kalangan yang lain lebih berusaha memahami seperti apa situasi dilihat dari berbagai sisi.

Memang ada beberapa reaksi. Bahkan ada yang pura-pura tidak bereaksi terhadap apa yang sedang terjadi disana : saya sendiri. Ya, saya berpura-pura tidak bereaksi, karena reaksi saya, jujur saja, bukan karena rasa simpati kemanusiaan, kesedihan, karena dizaman ini banyak sekali manusia-manusia yang dilanggar hak-hak kemanusiaannya. Jikalau saya harus terenyuh karena kemanusaan yang dilanggar, itu bukan hanya karena orang-orang Rohingya yang di bantai, melainkan karena dampak globalisasi yang membuat pembantaian terjadi dimana-mana, baik secara fisik maupun psikologis. Reaksi saya lebih karena saya kesal, karena saya tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi disana, dan kenyataan bahwa orang-orang merasa diri mereka tahu, bahkan menyebarkan pengetahuan mereka, dan situasinya menjadi semakin kacau. 

Antara benar dan tidak, antara siapa yang membakar api dan siapa yang menebar abu, saya hanya yakin terhadap prediksi-prediksi berdasarkan rekam jejak sejarah, sebab akibat, western kolonialisasi, Project OBOR China, ASEAN yang punya caranya sendiri yang dibilang ASEAN way, lalu United Nation yang juga selalu kena tuntut hampir sama dengan Su Kyii. Lalu obrolan-obrolan di warung kopi, antara teman-teman yang sedikit peduli dan tidak peduli, argumentasi antara suami istri, diskusi kelas bersama akademisi dan hasil kontemplasi dan refleksi di malam sunyi mengenai realitas Rohingya ini, mungkin lebih simpati kepada Rohingya di Banding pemerintah Myanmar. Dan pemerintah Myanmar selalu tutup mulut. Menutup akses jurnalisme disana. Membuat semuanya warna-warni dalam latar keabu-abuan. Menyebalkan. Saya mendapat firasat bahwa semua ini sebenarnya secara pretensius memang untuk membuat kepala kita terbakar. Jadi saya menata ulang fakta-fakta, mana yang paling rasional dan mana yang paling tidak rasional. Bukan untuk menilai pembantaian yang terjadi. Saya melakukannya untuk memahami, melihat mengapa reaksi kita berbeda-beda. Meskipun jika saya ditanyai opini mengenai phenomena Rohingya, saya akan berkata : terjadi pembantaian disana, siapa-siapa harus mulai mengintervensi.

UN mengelak, berlindung di bawah Hukum international yang menyatakan bahwa ethnic cleansing tidak dirumuskan dalam hukum international. Namun, saat saya lihat lagi, berdasarkan konvensi yang paling baru, menyatakan bahwa ethnic cleansing merupakan salah satu bentuk genosida. Aha!

Saya membuka buku system of United Nation, dimana sebenarnya UN bisa mengintervensi, jika semua negara member stuju untuk melakukan vote, dan kita bisa melihat hasilnya. Namun Myanmar adalah bagian dari ASEAN. Jika UN mengambil tindakan, mendahului ASEAN, jelas sudah ASEAN ditelanjangi. Meskipun focus ASEAN dan UN memang benar-benar berbeda, namun dalam ASEAN, terdapat aspek keamanan. Artinya  setiap member ASEAN diperbolehkan melakukan rumusan persetujuan membahas keamanan setiap negara member. Seandainya ASEAN memiliki prinsip yang lebih tegas dalam hal intervensi di bidang keamanan.

ASEAN WAY Merupakan kebijakan ASEAN, berdasarkan prinsip non-interferensi, dan consensus bersama yang artinya jika salah satu negara ASEAN tidak menyetujui kebijakan tertentu, maka seluruh Negara ASEAN tidak akan mengimplementasikan kebijakan tersebut. Prinsip non interferensi ini lah yang menurut saya membuat ASEAN cacat dalam menentukan tindakan terhadap pemerintah Myanmar. Non-interferensi. Lantas untuk apa ASEAN dibuat, jika intervensi tidak bisa dilakukan? 

Pertanyaannya adalah: mengapa kebijakan seperti itu dibuat?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun