Dari Kata ke Rasa
Selama ini, makmur terlalu sering menjadi kata yang diucapkan dari podium, bukan rasa yang hadir di hati rakyat. Kata itu diulang dalam setiap rencana besar, tapi jarang diperjuangkan dalam tindakan kecil.
Padahal, kemakmuran tak pernah tumbuh dari teori ekonomi semata. Ia lahir dari kebijakan yang berpihak, dari keberanian menata ulang prioritas, dari kesadaran bahwa pembangunan sejati dimulai dari dapur rakyat, bukan dari laporan keuangan negara.
Negara yang makmur bukanlah yang memiliki banyak orang kaya, melainkan yang memiliki sedikit orang lapar.
Dan ukuran paling sederhana kemakmuran rakyat tetap sama sejak dulu: makmur berarti makan murah.
Penutup
Selama "makmur" masih sekadar tanda kutip, rakyat akan terus menunggu hari ketika kemakmuran benar-benar bisa dirasakan, bukan hanya dibicarakan.
Ketika makan murah menjadi kenyataan, ketika kebutuhan dasar tak lagi menjadi kecemasan, ketika harga hidup selaras dengan penghasilan, barulah bangsa ini pantas menyebut dirinya makmur; tanpa tanda kutip, tanpa penjelasan tambahan.
Sampai saat itu tiba, biarlah rakyat terus mengingatkan dengan caranya sendiri: bahwa makmur sejati bukan angka, bukan slogan, bukan janji.
Makmur sejati adalah ketika setiap orang di negeri ini bisa makan dengan tenang, karena di situlah letak paling nyata dari sebuah kemakmuran.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI