Menurunkan Makna Makmur ke Tanah Rakyat
Sudah saatnya negara menurunkan makna makmur dari langit teori ke tanah kenyataan.
Makmur tidak bisa hanya dipahami sebagai pencapaian ekonomi makro, melainkan keseimbangan hidup rakyat sehari-hari.
Ketika harga pangan stabil, ketika petani mendapat harga panen yang wajar, ketika upah buruh cukup untuk menafkahi keluarga, ketika pedagang kecil tak lagi dihimpit biaya sewa; di situlah makmur benar-benar hidup.
Negara boleh sibuk membangun jalan, bandara, dan pelabuhan; tapi jangan lupa membangun keadilan harga, karena dari situlah kesejahteraan rakyat tumbuh. Infrastruktur yang megah tak ada artinya jika dapur rakyat masih gelap dan kosong.
Makmur versi rakyat tidak butuh indeks global. Ia cukup diukur dari satu hal: apakah makan murah masih mungkin hari ini? Bila tidak, maka "makmur" telah kehilangan maknanya.
Makan Murah sebagai Ukuran Sejati
"Makan murah" adalah indikator sosial paling jujur. Ia menembus semua lapisan, dari desa hingga kota, dari petani hingga pegawai negeri. Ketika rakyat bisa makan dengan layak tanpa beban, maka stabilitas sosial ikut terjaga.
Sebab, ketenteraman sosial tak lahir dari statistik, melainkan dari perut yang kenyang. Bangsa yang perutnya lapar mudah marah, mudah tersulut, mudah kehilangan kepercayaan pada negara. Di situlah mengapa "makmur" (makan murah) bukan sekadar candaan rakyat, tapi cermin tajam tentang keberhasilan atau kegagalan kebijakan ekonomi.
Negara yang benar-benar berpihak pada rakyat akan mengukur keberhasilan bukan dari angka pertumbuhan, melainkan dari senyum di pasar dan asap di dapur rakyat.
Karena makmur sejati bukanlah jargon, tapi rasa aman: aman untuk hidup, aman untuk makan, aman untuk bermimpi.