Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Kolumnis Independen

Quod Scripsi, Scripsi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Makmur dan "Makmur": Antara Statistik Negara dan Makan Murah Rakyat

17 Oktober 2025   12:03 Diperbarui: 17 Oktober 2025   12:03 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemiskinan ekstrim di Indonesia harus diiringi strategi penanganan dengan berbasis pada data yang kuat. Foto: MNC Media via IDX Channel

Kata makmur terdengar indah di telinga bangsa ini. Ia muncul di setiap visi pemerintahan, di baliho pembangunan, di spanduk kampanye, bahkan di ruang rapat pejabat tinggi negara.

"Menuju Indonesia makmur" telah menjadi slogan yang diulang hingga terasa seperti mantra. Namun, sebagaimana semua mantra, keampuhannya baru bisa dirasakan bila ia benar-benar hidup dalam kenyataan.

Masalahnya, makmur yang dimaksud oleh negara kerap berbeda dengan "makmur" yang diharapkan rakyat.

Di dalam pidato resmi, makmur sering berarti stabilitas ekonomi, pertumbuhan produk domestik bruto, dan neraca perdagangan yang positif. Tapi di meja makan rakyat, "makmur" berarti sesuatu yang jauh lebih sederhana, dan jauh lebih jujur: makan murah.

Ya, "makmur" dalam tanda kutip adalah singkatan dari makan murah. Sebuah makna yang tak lahir dari ruang konferensi pers, melainkan dari dapur-dapur sederhana di pelosok negeri. Di sana, kemakmuran bukan soal angka dan istilah, tapi tentang apakah hari ini bisa makan dengan layak tanpa menghitung kembalian uang terakhir.

Makmur Versi Data, "Makmur" Versi Dapur

Di negeri ini, ada dua makmur yang hidup berdampingan. Yang pertama tercatat dalam statistik nasional; yang kedua hidup dalam keseharian rakyat. Yang satu bisa dipresentasikan dalam grafik PowerPoint; yang lain hanya bisa dirasakan lewat harga beras di pasar dan biaya gas di dapur.

Ketika pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen, sebagian keluarga justru menghemat lauk karena harga cabai melonjak. Ketika pejabat memuji neraca perdagangan yang surplus, pedagang kecil masih berjuang agar warungnya tak tutup akibat sepi pembeli. Makmur di atas kertas belum tentu "makmur" di dapur.

Pertanyaannya: untuk siapa semua kemakmuran itu?
Jika angka-angka makro hanya menenangkan investor dan mempercantik laporan lembaga keuangan, sementara rakyat kecil masih berjuang menahan lapar, maka kemakmuran itu tak lebih dari ilusi statistik.

Kemakmuran sejati bukanlah ketika ekonomi tumbuh, tapi ketika rakyat tak lagi takut hidup. Makmur bukan tentang berapa besar pendapatan nasional, melainkan seberapa tenang hati rakyat dalam menjalani hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun