Pendidikan Bermutu: Lebih dari Sekadar Angka
Kita sering mendefinisikan mutu pendidikan secara sempit: nilai ujian, ranking internasional, akreditasi sekolah. Padahal mutu sejati lebih dari itu. Pendidikan bermutu berarti anak-anak kita tumbuh menjadi manusia yang:
- Cerdas secara intelektual, mampu berpikir kritis dan kreatif.
- Kuat secara karakter, jujur, tangguh, berdisiplin, dan peduli.
- Terampil secara praktis, bisa bekerja, berwirausaha, atau menciptakan sesuatu.
- Sehat secara emosional dan spiritual, bahagia belajar dan siap menghadapi kehidupan.
Mutu pendidikan bukan sekadar soal bisa menjawab soal ujian, melainkan kemampuan bertahan hidup dan memberi makna bagi orang lain.
Kalau arah bangsa jelas, mutu pendidikan bisa dipetakan sesuai kebutuhan itu. Tapi kalau arah bangsa kabur, mutu hanya akan diperdebatkan tanpa henti.
Terombang-ambing di Abad 21
Inilah wajah pendidikan Indonesia di abad 21: ia terombang-ambing di tengah gelombang globalisasi, digitalisasi, dan kompetisi internasional.
Kadang kita ingin menjadi negara industri, lalu beralih jadi negara digital, kemudian bicara negara hijau. Semua itu baik, tetapi tanpa kompas besar, kita hanya akan sibuk mengejar tren, bukan membangun peradaban.
Murid pun akhirnya menjadi korban. Mereka dipaksa belajar hal-hal yang terus berubah sesuai arus, tetapi tidak pernah mendapat pegangan kokoh: siapa mereka, dan mau jadi apa.
Mencari Kompas yang Hilang
Pendidikan Indonesia butuh kompas. Kompas itu bukan sekadar dokumen resmi, melainkan kesepakatan bangsa tentang arah besar yang ingin dicapai.Â
Tanpa kompas, pendidikan hanya akan terombang-ambing, menjadi proyek jangka pendek yang terus berubah setiap periode pemerintahan.
Indonesia tidak boleh puas hanya menjadi negara pengikut arus. Kita harus berani menentukan arah sendiri: apakah ingin jadi kekuatan industri, pusat pangan dunia, raksasa digital, atau bahkan bangsa peradaban yang membawa nilai kemanusiaan baru ke dunia.
Apapun pilihannya, yang jelas: pendidikan bermutu adalah syarat utama. Tanpa pendidikan yang bermutu, arah besar hanya akan tinggal mimpi, dan visi untuk siap hadapi tantangan abad 21 menjadi kabur.
Dan pada akhirnya, pertanyaan itu tetap menggantung di udara: quo vadis, Indonesia?***