Setiap bangsa yang besar selalu punya arah. Arah itu tidak hanya terlihat dalam dokumen negara, tetapi tercermin dalam sistem pendidikannya. Pendidikan adalah kompas utama: ia menunjukkan jalan, menyiapkan manusia, dan menentukan ke mana sebuah bangsa akan melangkah.
Namun, ketika kita menatap wajah pendidikan Indonesia hari ini, ada kegelisahan besar yang muncul. Apakah kita sungguh tahu mau ke mana bangsa ini diarahkan melalui pendidikan? Ataukah kita hanya sibuk menyesuaikan diri dengan tren dunia, lalu terombang-ambing tanpa arah yang pasti?
Pendidikan yang Selalu Ikut Gelombang
Coba kita lihat satu dekade terakhir. Saat dunia ramai membicarakan revolusi industri 4.0, Indonesia pun buru-buru meluncurkan program link and match antara sekolah dengan industri. Tidak lama kemudian, ketika ekonomi digital naik daun, kita ramai-ramai bicara literasi digital, startup, coding untuk anak-anak, dan berbagai lomba berbasis teknologi.
Belum selesai dengan itu, dunia beralih menekankan isu krisis iklim dan energi hijau. Indonesia pun cepat-cepat menambahkan narasi tentang sekolah ramah lingkungan, literasi hijau, hingga pendidikan transisi energi.
Semua itu tentu bukan hal buruk. Tetapi pola yang muncul mengkhawatirkan: kita terlalu sering bergerak reaktif, bukan proaktif.
Kita ikut tren global, tapi jarang bertanya: apakah tren ini sesuai dengan arah besar bangsa kita? Apakah pendidikan kita benar-benar sedang membentuk manusia Indonesia, atau hanya memenuhi kebutuhan pasar global?
Di sinilah terasa betul bahwa pendidikan kita seperti kapal yang layar dan mesinnya kuat, tetapi tidak punya kompas.
Kurikulum yang Tak Pernah Tenang
Gambaran lain terlihat dari kurikulum. Hampir setiap pergantian menteri, kurikulum ikut berganti. Dari KBK ke KTSP, lalu ke Kurikulum 2013, kemudian Kurikulum Merdeka. Guru di lapangan sering merasa bingung: mereka belum sempat mendalami satu sistem, sudah harus menyesuaikan dengan sistem lain.
Perubahan kurikulum sebenarnya wajar, karena zaman memang berubah. Tetapi yang mengkhawatirkan adalah arah perubahan itu sendiri. Apakah perubahan dilakukan untuk mengejar mutu jangka panjang, atau sekadar memenuhi target politik sesaat?
Jika kurikulum berubah tanpa arah jelas, yang paling menderita adalah murid. Mereka hanya menjadi objek percobaan sistem, bukan subjek utama pendidikan.