Belakangan ini, industri rokok di Indonesia sedang seperti orang habis ditinggal pacar: galau, resah, dan penuh drama. Harga cukai naik terus kayak harga cabe rawit, rokok ilegal merajalela bagaikan sinetron tak berkesudahan, dan laba perusahaan meluncur turun lebih cepat daripada kursi goyang yang ditinggal bocah.
PT Gudang Garam Tbk, sang raksasa kretek, pun ikut mengelus dada. Laba anjlok, isu PHK berhembus, dan mungkin saja di ruang rapat para petinggi perusahaan sedang teriak-teriak:
"Kita harus jualan apa lagi nih, selain rokok?!"
Di tengah kegalauan itu, muncullah ide nakal di benak kita. Ide yang sekaligus kocak dan, entah kenapa, terasa logis: Kenapa Gudang Garam tidak banting setir saja ke bisnis garam? Sesuai namanya, toh!
Coba bayangkan: sebuah merek sebesar Gudang Garam tiba-tiba meluncurkan produk garam dapur. Bungkusnya mungkin megah, dengan warna merah-putih, logo ikonik mereka tetap nongol gagah, lalu di bawahnya tertulis:
"Garam Dapur Cap Gudang Garam: Sensasi Asin yang Tak Terlupakan!"
Strategi Pemasaran Revolusioner
Pertanyaan pun langsung muncul di kepala publik:
- Apakah garam Gudang Garam bikin ketagihan kayak rokoknya?
- Apakah ada varian garam rendah nikotin?
- Apakah setiap butir garamnya perlu pakai filter?
Nah, ini serunya kalau iklan mereka benar-benar dibuat.
Iklan 1:Â Seorang chef terkenal sedang masak sambil dikejar deadline. Tangannya gemetar, wajahnya serius. Lalu ia menaburkan Garam Gudang Garam. Seketika, ekspresinya berubah lega. Kamera zoom-in, chef berkedip nakal sambil berkata, "Bumbu rahasia saya? Tentu saja, Gudang Garam!" Jingle legendaris mereka mengalun, tapi diubah liriknya: "Nikmatnya... asinnya... mantap!"
Iklan 2:Â Sekelompok anak muda nongkrong di kafe. Bukan merokok, tapi mereka sibuk menabur garam di segala makanan: kentang goreng, kopi, bahkan donat. Salah satu pemuda nyeletuk, "Bro, ada Garam Gudang Garam varian mild nggak?" Temannya menjawab, "Wah, mild habis. Ini ada yang full flavour, lebih nendang!" Sambil nyodorin sebungkus garam beryodium.