Demonstrasi besar yang melahirkan "17+8 Tuntutan Rakyat" pada Agustus 2025 menjadi bukti nyata bahwa suara publik masih mampu mengguncang sendi-sendi kekuasaan.
Meskipun sejumlah tuntutan tersebut baru sekadar daftar yang dirangkum dari berbagai akun media sosial, tapi sudah sangat jelas, tegas, dan menyentuh akar masalah: mulai dari reformasi internal DPR, perbaikan aparat keamanan, hingga jaminan kesejahteraan buruh. Ribuan orang turun ke jalan, menyatukan suara yang selama ini tercecer dalam keluhan harian.
Namun, di tengah euforia kemenangan moral, ada pertanyaan mendasar yang tidak boleh diabaikan: apakah gelombang ini akan berakhir pada perubahan nyata, atau sekadar menjadi catatan kecil dalam sejarah panjang seruan yang dilupakan?
Sejarah politik Indonesia, bahkan dunia, berulang kali mengajarkan bahwa energi massa bisa dengan cepat "masuk angin" jika momentumnya tidak dikelola. Setelah teriakan bergema, spanduk dilipat, dan barisan pulang, apa yang tersisa?
Jika tidak ada mekanisme yang menjamin keberlanjutan, perjuangan hanya akan menjadi nostalgia, bukan gerakan transformatif.
Bahaya "Masuk Angin" dalam Perjuangan
"Masuk angin" dalam konteks gerakan rakyat bukan sekadar istilah candaan. Ia adalah realitas pahit.
Pertama, faktor kelelahan kolektif. Massa yang sebelumnya bersemangat akan kembali pada rutinitas: bekerja, kuliah, atau mencari nafkah. Kekuasaan sangat memahami titik ini. Dengan sengaja, mereka bisa menunda-nunda respons, menunggu sampai perhatian publik beralih pada isu lain.