Di negeri kita yang penuh warna ini, logika sering kali bukan sesuatu yang lurus, tapi melingkar, menekuk, bahkan kadang terbalik.
Contoh paling sederhana ada pada dua dokumen penting: SIM dan KK. Dua-duanya wajib dimiliki warga negara, tapi kalau kita perhatikan, nama dan bentuknya seperti sengaja dipermainkan birokrasi.
Mari mulai dari SIM. Namanya gagah: Surat Izin Mengemudi. Kata "surat" langsung mengingatkan kita pada selembar kertas resmi, ada kop institusi, ada tanda tangan pejabat, mungkin lengkap dengan salam pembuka "Dengan hormat" dan salam penutup "Hormat kami." Itulah gambaran sebuah surat.Â
Tapi kenyataan di lapangan? SIM hanyalah kartu plastik mungil seukuran kartu ATM. Tidak ada paragraf, tidak ada kalimat panjang, apalagi kata-kata indah. Isinya cuma foto Anda dengan wajah setengah senyum (kadang gagal senyum), nama, alamat, dan tanda tangan. Kalau dipikir-pikir, SIM lebih mirip kartu member toko elektronik daripada sebuah "surat."
Sekarang lihat KK. Namanya Kartu Keluarga. Dari kata "kartu," kita pasti membayangkan sesuatu yang praktis: bisa masuk dompet, mudah dibawa, bisa dipindai barcode-nya.
Namun ternyata bentuk KK adalah lembaran besar yang panjangnya bisa menyaingi halaman koran Mingguan. Saking lebarnya, kalau dipakai menutupi muka bisa jadi kipas raksasa. Isinya? Daftar nama seisi rumah, lengkap dengan NIK, tempat lahir, status kawin, hingga keterangan "kepala keluarga" yang sering memicu perdebatan di meja makan.
Lucu, bukan? Yang disebut "surat" ternyata berbentuk kartu, dan yang disebut "kartu" justru berbentuk surat. Seperti ada pertukaran nama yang tak pernah dikoreksi, entah karena keterlanjuran sejarah atau sekadar karena bangsa ini memang gemar membiarkan hal-hal aneh berjalan apa adanya.
Kalau di negara lain, mungkin sudah ada protes. Bisa saja masyarakat menggelar aksi dengan poster: "Kembalikan nama pada tempatnya! Surat ya surat, kartu ya kartu!" Tapi di Indonesia, semuanya diterima dengan senyum. Kita terbiasa hidup dalam paradoks. SIM tetap disebut surat meski seukuran kartu, dan KK tetap disebut kartu meski sebesar peta.
Tentu, kalau mau dibela, ada logikanya juga. SIM tetap disebut "surat" karena sejatinya adalah surat keputusan negara yang memberi izin mengemudi.Â
Sedangkan KK disebut "kartu" bukan karena bentuk fisiknya, melainkan karena ia adalah kartu data, memuat kumpulan informasi keluarga yang disusun rapi. Jadi memang lebih soal istilah administratif daripada soal bentuk.
Tapi, tetap saja, bagi rakyat jelata yang sehari-hari berkutat dengan realita, logika hukum itu kadang bikin kening berkerut. Kita jadi merasa hidup di dunia yang suka menukar arti kata. Dan mungkin, tanpa sadar, negara sedang mendidik kita jadi filsuf.
Dari SIM dan KK, kita belajar bahwa jangan pernah percaya sepenuhnya pada nama. Nama bisa menipu. Nama bisa bertukar.
Ada orang yang kelihatan gagah, tapi hatinya rapuh. Ada yang disebut "pejabat rakyat," tapi hidupnya jauh dari rakyat. Ada yang disebut "wakil," tapi jarang benar-benar mewakili. Sama saja dengan SIM dan KK: nama tidak selalu sesuai dengan bentuk dan kenyataan.
Mungkin itulah filosofi terselubung dari birokrasi kita. Melalui dokumen-dokumen kecil yang kita anggap sepele, negara seolah ingin berkata: "Hiduplah dengan sabar, terimalah kenyataan, dan jangan berharap segalanya akan lurus." Karena toh, dari SIM dan KK saja kita sudah belajar: surat bisa jadi kartu, kartu bisa jadi surat, dan hidup selalu penuh kejutan.
Dan kita pun, dengan segala keruwetan administrasi, akhirnya hanya bisa tersenyum. Mengisi formulir, melampirkan fotokopi, menunggu stempel basah, lalu pulang sambil membawa satu pelajaran berharga: bahwa di Indonesia, bahkan dokumen pun bisa mengajarkan kita filsafat.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI