Sebagai warga negara yang baik, saya selalu berusaha untuk berpikir positif. Namun, ada kalanya logika saya diuji habis-habisan oleh kebijakan yang dibuat oleh para wakil rakyat. Salah satunya adalah soal tunjangan rumah anggota DPR RI.
Mungkin Anda sudah tahu, para dewan yang terhormat kini mendapat tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan. Angka yang fantastis, bukan?
Tunjangan ini, katanya, adalah pengganti dari fasilitas rumah dinas yang dulu mereka tempati. Alasannya, rumah dinas tersebut sudah tidak layak huni.
Sekilas, kebijakan ini terdengar masuk akal. Pemerintah tidak perlu lagi membiayai perawatan rumah dinas yang mahal. Anggota DPR juga jadi lebih fleksibel untuk memilih tempat tinggal.Â
Tapi, tunggu dulu. Jika kita telaah lebih dalam, ada akal-akalan yang terasa begitu sehat di balik keputusan ini.
Dulu, rumah dinas adalah aset milik negara. Anggota dewan hanya memiliki hak pakai selama menjabat. Setelah masa bakti habis, mereka harus mengembalikannya. Aset itu tetap milik rakyat dan bisa digunakan oleh pejabat berikutnya. Tidak ada keuntungan pribadi.
Sekarang, negara tidak lagi memberikan aset. Negara memberikan uang tunai. Ya, uang. Sebanyak Rp 50 juta per bulan.
Mari kita hitung. Dalam satu tahun, satu anggota dewan menerima Rp 600 juta. Jika dikalikan dengan masa jabatan 5 tahun, totalnya mencapai Rp 3 miliar.
Apa yang terjadi dengan uang Rp 3 miliar ini? Uang ini masuk ke rekening pribadi mereka. Uang ini bukan lagi milik negara. Mereka bebas menggunakannya. Bisa untuk menyewa, membeli rumah baru, atau bahkan hanya ditabung. Setelah masa jabatan selesai, mereka tidak perlu mengembalikan apa pun. Mereka pergi dengan membawa modal Rp 3 miliar, sementara rakyat tidak mendapatkan aset apa pun.
Inilah poin yang membuat saya gelisah (Geli-geli Resah). Logika yang dipakai seolah dibalik. Aset negara yang seharusnya dipertahankan dan dirawat, kini diuangkan dan diberikan kepada individu. Logika ini merubah status dari "hak pakai" menjadi "hak milik".