Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Quod Scripsi, Scripsi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tunjangan Rumah DPR Bikin Saya Gelisah (Geli-geli Resah)

22 Agustus 2025   16:38 Diperbarui: 22 Agustus 2025   16:38 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR Puan Maharani menyebutkan bahwa tunjangan rumah bagi anggota DPR RI sudah dikaji (Sumber gambar: KOMPAS.com/YouTube)

Sebagai warga negara yang baik, saya selalu berusaha untuk berpikir positif. Namun, ada kalanya logika saya diuji habis-habisan oleh kebijakan yang dibuat oleh para wakil rakyat. Salah satunya adalah soal tunjangan rumah anggota DPR RI.

Mungkin Anda sudah tahu, para dewan yang terhormat kini mendapat tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan. Angka yang fantastis, bukan?

Tunjangan ini, katanya, adalah pengganti dari fasilitas rumah dinas yang dulu mereka tempati. Alasannya, rumah dinas tersebut sudah tidak layak huni.

Sekilas, kebijakan ini terdengar masuk akal. Pemerintah tidak perlu lagi membiayai perawatan rumah dinas yang mahal. Anggota DPR juga jadi lebih fleksibel untuk memilih tempat tinggal. 

Tapi, tunggu dulu. Jika kita telaah lebih dalam, ada akal-akalan yang terasa begitu sehat di balik keputusan ini.

Dulu, rumah dinas adalah aset milik negara. Anggota dewan hanya memiliki hak pakai selama menjabat. Setelah masa bakti habis, mereka harus mengembalikannya. Aset itu tetap milik rakyat dan bisa digunakan oleh pejabat berikutnya. Tidak ada keuntungan pribadi.

Sekarang, negara tidak lagi memberikan aset. Negara memberikan uang tunai. Ya, uang. Sebanyak Rp 50 juta per bulan.

Mari kita hitung. Dalam satu tahun, satu anggota dewan menerima Rp 600 juta. Jika dikalikan dengan masa jabatan 5 tahun, totalnya mencapai Rp 3 miliar.

Apa yang terjadi dengan uang Rp 3 miliar ini? Uang ini masuk ke rekening pribadi mereka. Uang ini bukan lagi milik negara. Mereka bebas menggunakannya. Bisa untuk menyewa, membeli rumah baru, atau bahkan hanya ditabung. Setelah masa jabatan selesai, mereka tidak perlu mengembalikan apa pun. Mereka pergi dengan membawa modal Rp 3 miliar, sementara rakyat tidak mendapatkan aset apa pun.

Inilah poin yang membuat saya gelisah (Geli-geli Resah). Logika yang dipakai seolah dibalik. Aset negara yang seharusnya dipertahankan dan dirawat, kini diuangkan dan diberikan kepada individu. Logika ini merubah status dari "hak pakai" menjadi "hak milik".

Kita bisa saja berdalih bahwa ini lebih efisien. Tapi, efisiensi untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk kantong para pejabat? 

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, saat jutaan orang berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, para wakil rakyat justru "diberi" modal miliaran rupiah.

Tentu, sebagai wakil rakyat, mereka layak mendapatkan fasilitas yang layak. Tapi, apa iya layak mendapatkan "modal" sebesar itu? Kebijakan ini bukan hanya soal pemborosan anggaran, tapi juga soal integritas dan moralitas. Ini menunjukkan bahwa prioritas para wakil rakyat kita bukan lagi mengabdi, melainkan mengakumulasi kekayaan.

Kebijakan ini adalah akal-akalan yang sehat. Sehat bagi mereka yang beruntung, tapi sakit bagi akal sehat kita. Ini bukan tentang fasilitas, ini tentang tabungan. Ini bukan tentang efisiensi, ini tentang privatisasi aset negara secara terselubung.

Saya hanya bisa berharap, suatu saat nanti, kita punya wakil rakyat yang tidak lagi sibuk mengakali aturan demi keuntungan pribadi, melainkan sibuk memikirkan bagaimana caranya agar setiap rupiah anggaran negara bisa benar-benar kembali kepada rakyat. Tanpa akal-akalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun